Tetesan air mata yang keluar dari mataku karena takut kepada Allah lebih aku sukai daripada aku bersedekah seribu dinar ('Amr bin al 'Ash)

Rabu, 18 November 2009

Kedudukan Seorang Ibu

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah Dalam Tanzil-Nya yang mulia, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ “Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.“ (Luqman: 14) Di tempat lain, Dia Yang Maha Suci berfirman: وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya dengan menyapihnya adalah tiga puluh bulan….” (Al-Ahqaf: 15) Dua ayat yang mulia di atas berisi perintah berbakti kepada orangtua sebagai suatu kewajiban dalam agama yang mulia ini. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla menggandengkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seperti dalam ayat: وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatupun serta berbuatbaiklah kepada kedua orang tua.“ (An-Nisa`:36) Ayah dan ibu berserikat dalam hal memiliki hak terhadap anaknya untuk memperoleh bakti. Hanya saja ibu memiliki bagian dan porsi yang lebih besar dalam hal beroleh bakti. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya oleh seorang sahabatnya: يا رسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال أمك. قال: ثم من؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال: أبوك “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447) Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata menukilkan ucapan Ibnu Baththal rahimahullahu, “Kandungan hadits ini adalah seorang ibu memiliki hak untuk mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang ayah.” Ibnu Baththal juga mengatakan, “Yang demikian itu diperoleh karena kesulitan yang didapatkan saat mengandung, kemudian melahirkan lalu menyusui. Tiga perkara itu dialami sendiri oleh seorang ibu dan ia merasakan kepayahan karenanya. Kemudian ibu menyertai ayah dalam memberikan tarbiyah (pendidikan kepada anak). Isyarat akan hal ini terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ “Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.“ (Luqman: 14) Allah Subhanahu wa Ta’ala menyamakan antara ayah dan ibu dalam mendapatkan bakti, dan Dia mengkhususkan ibu dalam tiga perkara (mengandung, melahirkan dan menyusui).” (Fathul Bari, 10/493) Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada hasungan untuk berbuat baik kepada kerabat[1]. Ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti di antara kerabat yang ada, kemudian ayah, kemudian kerabat yang terdekat. Ulama berkata, ‘Sesbab didahulukannya ibu adalah karena banyaknya kepayahan yang dialaminya dalam mengurusi anak. Di samping karena besarnya kasih sayangnya, pelayanannya, kepayahan yang dialaminya saat mengandung si anak, kemudian saat melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, melayaninya, mengurusi/merawatnya tatkala sakit dan selainnya’.” (Al-Minhaj, 16/318) Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya terhadap surat Al-Ahqaf ayat 15, “Ini merupakan kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan kesyukuran-Nya kepada kedua orangtua. Di mana Dia mewasiatkan kepada anak-anak agar berbuat baik kepada kedua orangtua dengan menunjukkan kepada keduanya perkataan yang lembut, kalimat yang lunak/halus, memberikan harta dan nafkah serta sisi-sisi kebaikan lainnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan peringatan dengan menyebutkan sebab seorang anak harus berbuat baik kepada orangtuanya. Dia menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ditanggung/dipikul oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya dan memberikan pelayanan dalam mengasuhnya. Kesulitan dan kepayahan yang disebutkan ini dihadapi bukan dalam masa yang pendek/singkat, sejam atau dua jam. Tapi dihadapi dalam kadar masa yang panjang “tiga puluh bulan”, masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu yang tersisa untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi. Ayat ini dengar firman-Nya: وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ “Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna.” (Al-Baqarah: 233) dijadikan sebagai dalil untuk menyatakan bahwa minimal masa kehamilan itu enam bulan. Karena masa menyusui (sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat di atas, pent.) lamanya dua tahun (24 bulan, pent.). Bila diambil dua tahun (24 bulan) dari masa 30 bulan maka tersisalah enam bulan sebagai masa kehamilan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 781) Dari ayat, hadits dan penjelasan di atas tampaklah bagi kita peran agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan lebih beberapa hari, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Tiba saat melahirkan, ia pun berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia. Tidak sampai di situ, setelah si anak lahir dengan penuh kasih disusunya kapan saja si anak membutuhkan. Tak peduli siang ataupun malam sehingga harus menyita waktu istirahatnya. Kelelahan demi kelelahan dilewatinya dengan penuh kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati … Demikianlah. Sehingga pantaslah syariat yang suci ini memberinya pemuliaan dengan memerintahkan anak agar berbakti kepadanya, selain berbakti kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya. Bahkan juga sepeninggal keduanya, dengan menyambung silaturahim dan berbuat baik kepada sahabat/orang-orang yang dikasihi keduanya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda: إِنَّ أَبَرَّ البِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ “Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya.” (HR. Muslim no. 6461) Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan hadits di atas dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam mencontohkan pengamalan hadits ini dengan perbuatannya. Disebutkan, ada seorang Arab gunung bertemu Abdullah di jalanan di Makkah. Abdullah mengucapkan salam kepadanya, lalu menyerahkan keledai yang ditungganginya agar dinaiki oleh orang tersebut dan memberinya sorban yang semula dipakainya. Ibnu Dinar, seorang perawi hadits ini bertanya kepada Abdullah, “Semoga Allah memperbaikimu! Mereka itu orang gunung (A’rab) dan mereka sudah cukup senang dengan pemberian yang sedikit.” Abdullah berkata menjelaskan sebab ia berbuat demikian kepada si A’rabi, “Ayah orang Arab gunung itu dulunya sahabat yang dikasihi oleh ‘Umar ibnul Khaththab. Sementara aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya‘.” (HR. Muslim no. 6460) Satu lagi atsar yang menunjukkan keutamaan berbakti kepada ibu. Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar, dari Ibnu ‘Abbas seraya berkata, “Aku telah meminang seorang wanita, namun wanita itu menolak untuk menikah denganku. Kemudian ada lelaki lain yang meminangnya dan ternyata ia senang menikah dengan lelaki tersebut. Aku pun cemburu hingga membawaku membunuh wanita tersebut. Lalu, adakah taubat untukku?” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?” “Tidak,” jawab lelaki tersebut. “Bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan taqarrub-lah (mendekat dengan melakukan amal shalih) kepada-Nya semampumu.” ‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Kenama engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup atau tidak)?’.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad dan dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 2799) Karena berbakti kepada orangtua–khususnya ibu yang sedang menjadi pembicaraan kita–telah diperintahkan oleh agama Islam, maka kita tidak membutuhkan perayaah Hari Ibu untuk mengenang jasa-jasa seorang ibu dan menjadikannya sebagai momen untuk memberi hadiah-hadiah kepada ibu. Atau memberikan perhatian khusus kepadanya dan meng-’istirahat’-kannya dari pekerjaan pada hari tersebut. Seorang anak, dalam Islam, harus berbuat baik kepada ibunya kapan pun. Di setiap waktu dan di setiap keadaan tanpa menunggu datangnya Hari Ibu yang justru merupakan suatu perayaan yang diada-adakan tanpa perintah dari agama. Bahkan semata taklid kepada budaya Barat yang memang tidak mengenal istilah ‘berbakti kepada orangtua’ dalam budaya mereka. Contoh Anak yang Berbakti Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai seorang yang berbakti kepada ibunya dan tidak melupakan untuk meminta ampun bagi ibunya bila ia beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Muhammad bin Sirin rahimahullahu berkata, “Kami sedang berada di sisi Abu Hurairah pada suatu malam. Saat itu Abu Hurairah berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah Abu Hurairah dan ibuku, serta ampunilah orang yang memintakan ampun untuk Abu Hurairah dan ibunya’.” Muhammad berkata, “Maka kami pun memintakan ampun untuk keduanya agar kami dapat masuk dalam doa Abu Hurairah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad no. 37 dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad) Sebelumnya, ibu Abu Hurairah enggan masuk Islam, Abu Hurairah berkisah, “Aku mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam. Suatu hari aku mendakwahinya maka ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku mengajak ibuku masuk Islam namun ia menolak. Suatu hari aku mendakwahinya, namun ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentangmu. Maka doakanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdoa: اللَّهُمَّ اهْدِ أُمُّ أَبِيْ هُرَيْرَةَ “Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Aku pun keluar dalam keadaan gembira dengan doa Nabiullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika tiba di rumah, aku menuju pintu yang ternyata sedang tertutup. Ibuku mendengar suara gesekan dua telapak kakiku di tanah, maka ia berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai Abu Hurairah.” Aku mendengar suara gerakan/percikan air. Ternyata ibuku mandi, lalu mengenakan pakaian dan kerudungnya. Setelahnya ia membuka pintu, kemudian berkata, “Wahai Abu Hurairah! Aku bersaksi Laa ilaaha ilallah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” Aku pun kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis karena bahagia. Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Bergembiralah, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doamu dan memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Beliau pun memuji Allah ‘Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya. (HR. Muslim no. 6346) Ada lagi seorang tokoh tabi’in yang dikenal sangat berbakti kepada ibunya. Dia adalah Uwais Al-Qarani rahimahullahu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentangnya kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Suatu saat nanti akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama rombongan pasukan penduduk Yaman. Dia berasal dari kabilah Murad, dari Qaran. Dulu dua terkena penyakit belang, lalu dia disembuhkan dari penyakitnya itu, kecuali sebesar dirham di pusarnya. Dia memiliki seorang ibu dan sangat berbakti kepadanya. Kalau dia bersumpah kepada Allah, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala kabulkan sumpahnya. Kalau engkau bisa memintanya agar memohonkan ampun untukmu maka lakukanlah[2].” (HR. Muslim no. 6439) Haramnya Durhaka kepada I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar