Tetesan air mata yang keluar dari mataku karena takut kepada Allah lebih aku sukai daripada aku bersedekah seribu dinar ('Amr bin al 'Ash)

Jumat, 24 Desember 2010

Hukum menyambut dan merayakan hari Raya non Muslim (Natal/Tahun Baru/Imlek, red)


Penulis: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan
Sesungguhnya di antara konsekwensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir ialah menjauhi syi’ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi’ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.

Ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepadanya (yang artinya) : ” Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang disembah ?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka ?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi bersabda, “Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam”
[Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits diatas menunjukkan, tidak bolehnya menyembelih untuk Allah di bertepatan dengan tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah ; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi’ar-syi’ar mereka, dan juga karena menyerupai mereka atau menjadi wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala’ (loyalitas) kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka.

Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makanan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka (kini kebanyakan berpesiar, berlibur ke tempat wisata, konser, acara musik, diakhiri mabuk-mabukan atau perzinaan, red).

Dan diantaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para shahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.

Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan”.

Pertama. Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketetapan semata, bukan karena
mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari’atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya terdapat maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.

Alasan Kedua.
Karena hal itu adalah bid’ah yang diada adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu”.

Beliau juga mengatakan, “Tidak halal bagi kaum muslimin ber-Tasyabuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ; seperti, makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah ataupun yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.

Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi’ar mereka pada hari itu. (Dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim, pentahqiq Dr Nashir Al-’Aql 1/425-426).

Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja [1] maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh. Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi’ar-syi’ar kekufuran.

Segolongan ulama mengatakan. “Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi”. Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Siapa yang mengikuti negera-negara ‘ajam (non Islam) dan melakukan perayaan Nairuz [2] dan Mihrajan [3] serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat.

Footnote :
[1] Mungkin yang dimaksud (yang benar) adalah ‘tanpa sengaja’.
[2] Nairuz atau Nauruz (bahasa Persia) hari baru, pesta tahun baru Iran yang
bertepatan dengan tanggal 21 Maret -pent.
[3] Mihrajan, gabungan dari kata mihr (matahari) dan jan (kehidupan atau
ruh), yaitu perayaan pada pertengahan musim gugur, di mana udara tidak panas
dan tidak dingin. Atau juga merupakan istilah bagi pesta yang diadakan untuk
hari bahagia -pent.

(Dinukil dari tulisan Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, dalam kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy[Edisi Indonesia, Kitab Tauhid 1])
Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: 2010

Bagaimana semestinya sikap Muslim yang tepat menyikapi hari raya Natal/Tahun Baru/Non Muslim lainnya ?

Berikut nasihat dari Komisi Tetap Saudi Arabia

“Sesungguhnya nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya adalah nikmat Islam dan iman serta istiqomah di atas jalan yang lurus. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah memberitahukan bahwa yang dimaksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh hamba-hamba-Nya yang telah diberi nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhadaa dan sholihin (Qs. An Nisaa :69).

Jika diperhatikan dengan teliti, maka kita dapati bahwa musuh-musuh Islam sangat gigih berusaha mema-damkan cahaya Islam, menjauhkan dan menyimpangkan ummat Islam dari jalan yang lurus, sehingga tidak lagi istiqomah.Hal ini diberitahukan sendiri oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, diantaranya, yang artinya: “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesung-guh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. 2:109)

Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala yang lain, artinya: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi beng-kok, padahal kamu menyaksikan”. Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. 3:99)

Firman ALLAH (yang artinya) : ” Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta’ati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi”. (QS. 3:149)

Salah satu cara mereka untuk menjauhkan umat Islam dari agama (jalan yang lurus)yakni dengan menyeru dan mempublikasikan hari-hari besar mereka ke seluruh lapisan masyara-kat serta dibuat kesan seolah-oleh hal itu merupakan hari besar yang sifatnya umum dan bisa diperingati oleh siapa saja. Oleh karena itu, Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi telah memberikan fatwa berkenaan dengan sikap yang seharusnya dipegang oleh setiap muslim terhadap hari-hari besar orang kafir.Secara garis besar fatwa yang dimaksud adalah:

Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashara menghubungkan hari-hari besar mereka dengan peristiwa-peritiwa yang terjadi dan menjadikannya sebagai harapan baru yang dapat memberikan keselamatan, dan ini sangat tampak di dalam perayaan milenium baru (tahun 2000 lalu), dan sebagian besar orang sangat sibuk memperangatinya, tak terkecuali sebagian saudara kita -kaum muslimin- yang terjebak di dalamnya. Padahal setiap muslim seharusnya menjauhi hari besar mereka dan tak perlu menghiraukannya.

Perayaan yang mereka adakan tidak lain adalah kebatilan semata yang dikemas sedemikian rupa, sehingga kelihatan menarik. Di dalamnya berisikan pesan ajakan kepada kekufuran, kesesatan dan kemungkaran secara syar’i seperti: Seruan ke arah persatuan agama dan persamaan antara Islam dengan agama lain. Juga tak dapat dihindari adanya simbul-simbul keagamaan mereka, baik berupa benda, ucapan ataupun perbuatan yang tujuannya bisa jadi untuk menampakkan syiar dan syariat Yahudi atau Nasrani yang telah terhapus dengan datangnya Islam atau kalau tidak agar orang menganggap baik terhadap syariat mereka, sehingga biasnya menyeret kepada kekufuran. Ini merupakan salah satu cara dan siasat untuk menjauhkan umat Islam dari tuntunan agamanya, sehingga akhirnya merasa asing dengan agamanya sendiri.

Telah jelas sekali dalil-dalil dari Al Quran, Sunnah dan atsar yang shahih tentang larangan meniru sikap dan perilaku orang kafir yang jelas-jelas itu merupakan ciri khas dan kekhususan dari agama mereka, termasuk di dalam hal ini adalah Ied atau hari besar mereka.Ied di sini mencakup segala sesuatu baik hari atau tempat yang diagung-agungkan secara rutin oleh orang kafir, tempat di situ mereka berkumpul untuk mengadakan acara keagamaan, termasuk juga di dalam hal ini adalah amalan-amalan yang mereka lakukan. Keseluruhan waktu dan tempat yang diagungkan oleh orang kafir yang tidak ada tuntunannya di dalam Islam, maka haram bagi setiap muslim untuk ikut mengagungkannya.

Larangan untuk meniru dan memeriahkan hari besar orang kafir selain karena adanya dalil yang jelas juga dikarenakan akan memberi dampak negatif, antara lain:
Orang-orang kafir itu akan merasa senang dan lega dikarenakan sikap mendukung umat Islam atas kebatilan yang mereka lakukan.
Dukungan dan peran serta secara lahir akan membawa pengaruh ke dalam batin yakni akan merusak akidah yang bersangkutan secara bertahap tanpa terasa.
Yang paling berbahaya ialah sikap mendukung dan ikut-ikutan terhadap hari raya mereka akan menumbuhkan rasa cinta dan ikatan batin terhadap orang kafir yang bisa menghapuskan keimanan.Ini sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala, (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya o-rang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. 5:51)

Dari uraian di atas, maka tidak diperbolehkan bagi setiap muslim yang mengakui Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi dan rasul, untuk ikut merayakan hari besar yang tidak ada asalnya di dalam Islam, tidak boleh menghadiri, bergabung dan membantu terselenggaranya acara tersebut.Karena hal ini termasuk dosa dan melanggar batasan Allah.Dia telah melarang kita untuk tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran, sebagaimana firman Allah, (yang artinya) : “Dan tolong-menolonglah kamu di dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. 5:2)

Tidak diperbolehkan kaum muslimin memberikan respon di dalam bentuk apapun yang intinya ada unsur dukungan, membantu atau memeriahkan perayaan orang kafir, seperti : iklan dan himbauan; menulis ucapan pada jam dinding atau fandel; menyablon/membuat baju bertuliskan perayaan yang dimaksud; membuat cinderamata dan kenang-kenangan; membuat dan mengirimkan kartu ucapan selamat; membuat buku tulis;memberi keistimewaan seperti hadiah /diskon khusus di dalam perdagangan, ataupun(yang banyak terjadi) yaitu mengadakan lomba olah raga di dalam rangka memperingati hari raya mereka. Kesemua ini termasuk di dalam rangka membantu syiar mereka.

Kaum muslimin tidak diperbolehkan beranggapan bahwa hari raya orang kafir seperti tahun baru (masehi), atau milenium baru sebagai waktu penuh berkah(hari baik) yang tepat untuk memulai babak baru di dalam langkah hidup dan bekerja, di antaranya adalah seperti melakukan akad nikah,memulai bisnis, pembukaan proyek-proyek baru dan lain-lain. Keyakinan seperti ini adalah batil dan hari tersebut sama sekali tidak memiliki kelebihan dan ke-istimewaan di atas hari-hari yang lain.

Dilarang bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir, karena ini menunjukkan sikap rela terhadapnya di samping memberikan rasa gembira di hati mereka.Berkaitan dengan ini Ibnul Qayim rahimahullah pernah berkata, “Mengucapkan selamat terhadap syiar dan simbol khusus orang kafir sudah disepakati kaha-ramannya seperti memberi ucapan selamat atas hari raya mereka, puasa mereka dengan mengucapkan, “Selamat hari raya (dan yang semisalnya), meskipun pengucapnya tidak terjeru-mus ke dalam kekufuran, namun ia telah melakukan keharaman yang besar, karena sama saja kedudukannya dengan mengucapkan selamat atas sujudnya mereka kepada salib. Bahkan di hadapan Allah, hal ini lebih besar dosanya daripada orang yang memberi ucapan selamat kapada peminum khamar, pembunuh, pezina dan sebagainya. Dan banyak sekali orang Islam yang tidak memahami ajaran agamanya, akhirnya terjerumus ke dalam hal ini, ia tidak menyadari betapa besar keburukan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, barang siapa memberi ucapan selamat atas kemaksiatan, kebid’ahan dan lebih-lebih kekufuran, maka ia akan berhadapan dengan murka Allah”. Demikian ucapan beliau rahimahullah!

Setiap muslim harus merasa bangga dan mulia dengan hari rayanya sendiri termasuk di dalam hal ini adalah kalender dan penanggalan hijriyah yang telah disepakati oleh para shahabat Radhiallaahu anhu, sebisa mungkin kita pertahan kan penggunaannya, walau mungkin lingkungan belum mendukung. Kaum muslimin sepeninggal shahabat hingga sekarang (sudah 14 abad), selalu menggunakannya dan setiap pergantian tahun baru hijriyah ini, tidak perlu dengan mangadakan perayaan-perayaan tertentu.
Demikianlah sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap mukmin, hendaknya ia selalu menasehati dirinya sendiri dan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri dari apa-apa yang menyebabkan kemurkaan Allah dan laknatNya. Hendaknya ia mengambil petunjuk hanya dari Allah dan menjadikan Dia sebagai penolong.

(Dinukil dari Fatwa Komisi Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi tentang Perayaan Milenium Baru tahun 2000.
Tertanda
Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh
Anggota: Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Ghadyan, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Syakh Shalih bin Fauzan Al Fauzan)

(Dikutip dari terjemah Kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi Indonesia, Kitab Tauhid, Penulis Dr Shalih bin Fauzan)
.: :.
SUMBER : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=384
Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: 2010

Kamis, 16 Desember 2010

Kemulian Rasa Malu


Oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani
Rasa malu merupakan sifat yang mulia, warisan dari para nabi ‘alaihimus salam. Oleh karena itu, Sifat yang agung ini telah diwarisi secara turun temurun oleh orang-orang shalih dari satu umat kepada umat yang lainnya. Dari satu generasi kepada generasi yang berikutnya. Demikianlah, sampai ajaran rasa malu itu diwarisi oleh pendahulu umat ini yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshary, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah  bersabda:
(إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ).
“Sesungguhnya termasuk yang masih didapatkan oleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka.” (HR. Al-Bukhari)

Rasa malu adalah sifat yang mulia. Rasa malu, seluruhnya adalah kebaikan. Rasulullah merupakan profile yang menjadi panutan dan tauladan dalam perihal rasa malu. Bahkan sampai disebutkan bahwa beliau lebih pemalu dari gadis pingitan yang berada dalam kamarnya. Demikianlah Rasulullah . Lebih daripada itu, para malaikat juga memiliki rasa malu. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah  ditemui oleh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Waktu itu, Rasulullah  tersingkap bagian pahanya sehingga terbuka. Maka beliau pun bergegas membenahi dirinya tatkala utsman masuk kepadanya. Rasulullah  pun ditanya tentang sikapnya yang demikian, maka beliau menjawab:
أَلاَ أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ
“Bagaimana aku tidak malu kepada seseorang yang para malaikat pun merasa malu kepadanya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa rasa malu merupakan sifat para malaikat.
Maka sebagaimana dalam hadist Abu Mas’ud Al Anshary diatas, bahwa orang yang tidak punya rasa malu, dia akan terjatuh pada perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik secara hukum syar’i maupun dalam tinjaun adat kebiasan manusia.
Pernyataan beliau shallallahu ’alaihi wasallam yang artinya:
“apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engakau suka”.
Di kalangan para ulama, ada tiga pengertian dalam memahaminya:
Pengertian yang pertama:
sebagian ulama memahami bahwa maksud perintah di sini “apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka”, adalah sebagai ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka, sesungguhnya Allah yang akan membalas perbuatanmu. Hal ini seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Perbuatlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (Fushilat: 40)
Maksud ayat ini adalah ancaman. Yakni Allah yang akan melihat dan mengawasi apa yang kalian kerjakan, maka perbuatlah apa yang kalian kehendaki. Niscaya Allah akan menghitung dan membalas perbuatan kalian itu. Maka menurut pendapat ini bahwa makna hadits diatas adalah ancaman. Berarti perintah berbuat sesuka hati bila tidak memiliki rasa malu merupakan ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pengertian yang kedua:
menurut sebagian ulama yang lain bahwa perintah di sini maksudnya adalah untuk pembolehan. Artinya, jika engkau tidak malu kepada Allah dan Rasul-Nya serta manusia, maka lakukanlah apa yang engkau suka tersebut, Karena hal itu menunjukkan akan kebolehannya. Namun jika engkau malu kepada Allah dan Rasul-Nya serta manusia, maka janganlah engkau melakukannya”. Ini adalah pendapat Imam An Nawawi rahimahullah.
Pengertian yang ketiga:
menurut sebagian ulama yang lain bahwa perintah di sini maksudnya adalah pemberitaan. Artinya, pernyataan: ”apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka”, merupakan pemberitaan bahwa orang yang tidak punya rasa malu akan melakukan segala perkara yang baik maupun buruk. Seperti sabda Rasulullah :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Ini bukan perintah yang menunjukkan kewajiban. Tetapi perintah yang bermakna pemberitaan bahwa orang yang berdusta atas nama Rasulullah  berarti dia telah mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka. Demikian pula dalam hadits ini bahwa orang yang tidak punya rasa malu, niscaya dia akan berbuat sesukanya. Barangkali dia akan melakukan perkara yang maksiat, jelek, keji, bahkan bisa jadi kekafiran dan kesyirikan sekalipun, karena dia tidak lagi punya rasa malu.
Al-Khaththabi rahimahullah menerangkan mengapa Rasulullah  memberitakannya dengan kata perintah. Beliau rahimahullah berkata: “Ketika rasa malu itu mencegah dari perbuatan yang jelek, maka orang yang tidak punya rasa malu, seolah-olah dia diperintah oleh tabiatnya untuk berbuat sesukanya. Oleh karena itu, Rasulullah  di sini menggunakan kata perintah dan tidak menggunakan kata yang menunjukkan pemberitaan”.
(lihat Fathul Baari oleh Ibnu Hajar Al ’Asqolaani rahimahullah 3/139)

Rasa malu adalah akhlak yang mulia, akhlak yang dimiliki oleh orang-orang yang baik. Setiap orang yang memiliki rasa malu niscaya akan tercegah dari perkara-perkara yang buruk dan jelek yang dimurka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya serta dibenci oleh manusia.
Rasa malu itu sendiri terbagi dua. Ada rasa malu yang menjadi sifat pembawaan atau tabiat yang merupakan karunia dan pemberian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini diistilahkan dengan rasa malu yang tidak diupayakan. Bisa jadi ada sebagian orang yang meninggalkan perkara-perkara yang buruk dan jelek bukan karena dia paham dan komitmen kepada agamanya. Akan tetapi lebih disebabkan rasa malu untuk melakukannya. Sehingga dia meninggalkannya bukan karena dorongan agama tapi disebabkan faktor rasa malu yang memang Allah ciptakan pada dirinya. Tabiat ini merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dilimpahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah maha memiliki keutamaan yang besar.
Rasa malu yang kedua adalah rasa malu yang bisa diupayakan. Maksudnya adalah rasa malu yang lahir karena merasa selalu diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu bisa tewujud karena mengenal dzat Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat Nya yang Maha mulia dan agung. Dia malu kalau Allah melihatnya berbuat keburukan dan kejelekan. Maka dia berupaya menghindari perkara-perkara yang buruk dan jelek disebabkan rasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun secara tabi’at dan watak, dia bisa dan mungkin biasa melakukan keburukan dan kejelekan tersebut. Ini namanya rasa malu yang diupayakan dan yang dimaksud oleh sabda Rasulullah :
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Rasa malu itu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah  – sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma- pernah melewati seseorang dari kalangan anshar yang tengah menasihati saudaranya mengenai rasa malu. Maka Rasulullah  bersbda:
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Biarkan dia, karena sesungguhnya rasa malu itu termasuk dari keimanan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Rasa malu yang termasuk dari keimanan adalah rasa malu yang diupayakan karena merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apa pun keadaannya, seorang yang punya rasa malu secara tabiat dan kepribadian, memiliki modal dasar untuk menuju rasa malu yang diupayakan karena merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika rasa malu itu dicabut dari seseorang, baik rasa malu secara tabiat dan kepribadian maupun rasa malu yang memang disyari’atkan, maka akan lenyap berbagai kebaikan dari dirinya. Dia akan jatuh pada perbuatan-perbuatan yang buruk dan jelek, baik secara hukum syar’i maupun secara adat kebiasaan manusia.
Namun di sana sesungguhnya ada rasa malu yang tercela. Rasa malu yang tercela –sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah dan yang selainnya- yaitu rasa malu yang menghalangi seseorang untuk menunaikan hak dan kewajiban. Seseorang merasa malu dalam menuntut ilmu sehingga dia mengalami kebodohan dalam agamanya. Seseorang merasa malu untuk beribadah kepada Allah sehingga dia tidak menunaikan kewajibannya terhadap Allah. Seseorang merasa malu untuk menunaikan hak dirinya, hak keluarganya, hak kaum muslimin. Maka semua rasa malu itu adalah rasa malu yang tercela. Karena rasa malu yang seperti ini merupakan kelemahan dan kecerobohan.
(lihat Fathul Baari 3/138)
Sedangkan yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
الْحَيَاءُ لا يأتي إلا بخَيْرٍ
“Rasa malu itu tidak membawa kecuali kepada kebaikan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
yaitu rasa malu yang membawa kepada keimanan serta tidak melalaikan hak dan kewajiban.
Lalu mengapa rasa malu yang menghalangi seseorang dari kebaikan disebut sebagai rasa malu? Hal itu karena rasa malu ini menyerupai rasa malu yang yang disyari’atkan. Padahal hakekatnya, rasa malu yang menghalangi dari kebaikan adalah tercela di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka orang yang mempunyai rasa malu akan terhalangi dari perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik rasa malu yang berlaku secara tabi’at maupun rasa malu yang lahir karena keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika kita mau memperhatikan kondisi dan keadaan manusia secara cermat, niscaya kita akan mendapati realita bahwa berbagai keburukan dan kejelekan terjadi, baik yang berupa kekafiran, kesyirika, kebid’ahan, dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar, dikarenakan mereka telah kekurangan bahkan kehilangan rasa malu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika rasa malu dengan kedua jenisnya telah hilang dari seseorang maka tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan darinya. Bahkan bisa jadi dirinya telah berubah menjadi syaithan yang terkutuk.
Kita memohon kepada Allah keselamatan dan keampunan.

Wallahu a’lam bish-shawab.
sumber : http://alhujjah.wordpress.com/2010/08/15/67/#more-67 Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: 2010

Selasa, 14 Desember 2010

Hukum-Hukum Seputar Puasa Muharram


Alhamdulillah pada saat ini kita telah berada di bulan Muharram, salah satu bulan dari empat bulan yang memiliki kehormatan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam sabda beliau: “Sesungguhnya zaman telah berputar kembali seperti bentuknya ketika Allah menciptakan langit-langit dan bumi, satu tahun itu 12 bulan dan di antaranya ada 4 bulan haram (yang memiliki kehormatan), 3 bulan (di antaranya) berturut-turut : Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan bulan Rajabnya Mudhor yang berada antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan bulan ini juga merupakan salah satu dari beberapa bulan yang Allah Ta’ala telah menurunkan syariat puasa khusus di dalamnya yaitu puasa yang kita kenal bersama dengan nama puasa asyura. Karena itu pada pembahasan kali ini, kami akan mengangkat beberapa hukum seputar puasa Asyuro, semoga kaum muslimin sekalian bisa mendapatkan ilmu dan pelajaran tentangnya sebelum terjun melaksanakannya.

1. Dalil-Dalil Tentang Disyari’atkannya.
a. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha beliau berkata, “Dulu pada hari Asyuro, orang-orang Quraisy berpuasa padanya di masa jahiliyah dan adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam dulu juga berpuasa padanya. Tatkala beliau berhijrah ke Madinah, beliau berpuasa padanya dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa padanya. Dan tatkala (puasa) ramadhan diwajibkan beliaupun meninggalkan (puasa) hari Asyuro. Maka (semenjak itu) siapa saja yang ingin (berpuasa padanya) maka dia berpuasa dan siapa saja yang ingin (untuk tidak berpuasa) maka dia meninggalkannya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Nabi datang (hijrah) ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyuro`, maka beliau bertanya: “Apa ini?”, mereka (orang-orang Yahudi) menjawab: “Ini adalah hari baik, ini adalah hari Allah menyelamatkan Bani Isra`il dari musuh mereka maka Musa berpuasa padanya”, beliau bersabda : “Kalau begitu saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian” maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c. Hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, memotivasi dan mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau, tatkala telah diwajibkan (puasa) Ramadhan, beliau tidak memerintahkan kami, tidakpula melarang kami dan tidak mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau”. (HR. Muslim)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa puasa asyura awal kali disyariatkan ketika beliau tiba pertama kali di kota Madinah. Adapun sebab asal pensyari’atannya yaitu karena pada hari itu Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dari musuhnya sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas di atas, jadi bukan karena mengikuti agamanya orang-orang Yahudi. Lihat Nailul Author (4/288)

2. Hukumnya.
Nampak jelas dari hadits-hadits di atas dan juga dari hadits-hadits yang lain yang semakna dengannya bahwa dulunya hukum puasa hari ‘Asyuro` adalah wajib karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas di atas. Akan tetapi setelah turunnya kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan maka hukum wajib ini dimansukh (terhapus) menjadi sunnah sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiallahu ‘anha.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (8/6), “Para ulama telah bersepakat bahwa puasa pada hari ‘Asyuro` hukumnya sekarang (yaitu ketika telah diwajibkannya puasa Ramadhan) adalah sunnah dan bukan wajib”. Dan ijma’ akan hal ini juga telah dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah sebagaimana dalam Fathul Bary (2/246)

3. Keutamaannya.
Ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan berpuasa pada hari ‘Asyuro`, berikut di antaranya :
a. Hadits Abu Qotadah Al-Harits bin Rib’iy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu dan (setahun) yang akan datang”, dan beliau ditanya tentang puasa hari ‘Asyuro` maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu”. (HR. Muslim)
b. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Saya tidak pernah melihat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam sangat bersungguh-sungguh berpuasa pada suatu hari yang dia lebih utamakan daripada selainnya kecuali pada hari ini hari ‘Asyuro` dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan“. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’, “Puasa yang paling afdhol setelah Ramadhan adalah (puasa) pada bulan Allah Muharram dan sholat yang paling afdhol setelah sholat wajib adalah sholat lail”. (HR. Muslim)

4. Orang yang telah makan sedang dia lupa atau tidak tahu bahwa hari itu adalah hari asyuro, apa yang dia lakukan ?
Masalah ini hukumnya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim (8/19), “Bab : Barangsiapa yang sudah makan pada hari ‘Asyuro` maka hendaknya dia menahan (berpuasa) pada sisa harinya”.
Ada dua dalil yang menunjukkan akan hal ini :
a. Hadits Salamah ibnul Akwa’ radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seorang lelaki dari Bani Aslam agar mengumumkan kepada manusia bahwa barangsiapa yang yang sudah makan maka hendaknya dia berpuasa pada sisa harinya dan barangsiapa yang belum makan maka hendaknya dia berpuasa, karena hari ini adalah hari ‘Asyuro`”. (HR.Al- Bukhari dan Muslim)
b. Hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu ‘anha dia berkata, “Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam mengutus (utusan) kepada desa-desa Anshor pada subuh hari ‘Asyuro` (untuk menyerukan) : “Barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berbuka (telah makan) maka hendaknya dia sempurnakan sisa harinya (dengan berpuasa) dan barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berpuasa maka hendaknya dia berpuasa”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

5. Kapankah Hari ‘Asyuro` Itu?
Terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam masalah penentuannya, dan pendapat yang paling kuat adalah bahwa hari asyura itu jatuh pada tanggal 10 Muharram. Ini adalah pendapat Said ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Imam Malik, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan ini merupakan pendapat jamahir (mayoritas) ulama terdahulu dan belakangan.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dia berkata, “Tatkala Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyuro` dan beliau memerintahkan (manusia) untuk berpuasa, mereka berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani”, maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda : “Jika tahun depan (saya masih hidup) insya Allah, maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan”. (Ibnu ‘Abbas) berkata : Maka tahun depan belum datang sampai Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat”. (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, “Jika saya masih hidup sampai tahun depan maka (Demi Allah) sungguh betul-betul saya akan berpuasa pada hari kesembilan”.
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah dalam Syarh Muslim (8/18), “Maka ini jelas menunjukkan bahwa dulu beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada tanggal 10 (Muharram) bukan tanggal 9”. Dan ini juga merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah.
Hal ini lebih dipertegas oleh perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, hari kesepuluh”. (HR. At-Tirmizi dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmizi (1/399 no. 755))
Faedah:
Disunnahkan pula untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram karena Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada tanggal 10 dan berniat untuk berpuasa pada tanggal 9 tahun depannya sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas di atas, ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq dan lain-lainnya. Hal ini juga berdasarkan ucapan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah pada hari ke 9 dan ke 10”. (Riwayat Abdurrozzaq (4/287) dan Al-Baihaqi (4/287))
Wallahu a’lam bish showab.
http://al-atsariyyah.com/hukum-hukum-seputar-puasa-muharram.html Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: 2010

Rabu, 08 Desember 2010

BULAN MUHARRAM (SURO) BUKAN BULAN SIAL

“Bulan Muharram telah tiba, jangan mengadakan hajatan pada bulan ini, nanti bisa sial.” Begitulah kata sebagian sebagian orang di negeri ini. Ketika hendak mengadakan hajatan, mereka memilih hari/bulan yang dianggap sebagai hari/bulan baik yang bisa mendatangkan keselamatan atau barakah. Dan sebaliknya, mereka menghindari hari/bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk yang bisa mendatangkan kesialan atau bencana. Seperti bulan Muharram (Suro) yang sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk keperluan hajatan. Bahkan kebanyakan mereka meyakininya sebagai prinsip dari agama Islam. Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru dilarang oleh agama?
Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.

Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.
Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran. Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)
Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)
Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)
Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)

Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?
Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)

Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah ?.
Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:

الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ

“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah ?.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)
Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.

Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.
Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:

اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ

“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)

Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.
Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.
Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:

هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.
Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=31) Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: 2010

Sabtu, 04 Desember 2010

HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU ISLAM

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin. Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam? Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini. Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka. Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau. Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab : تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة. ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر. كتبه محمد بن صالح العثيمين 24/1/1418 هـ Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“ Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya. Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain. Ditulis oleh : Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn 24 - 1 - 1418 H [dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131] Para pembaca sekalian, Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena : - Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri. - Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka. Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam. Wallâhu a’lam bish shawâb وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=290 Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: 2010

Sabtu, 13 November 2010

Tempat Menyembelih hewan Qurban

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin Yang masyhur dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah mereka menyembelih hewan qurban di tempat domisili mereka. Inilah sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal tempat penyembelihan. Bahkan beliau punya kebiasaan menyembelih hewan qurban di tanah lapang tempat shalat Ied. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْبَحُ وَيَنْحَرُ بِالْمُصَلَّى “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih (sapi/kambing, pen.) dan me-nahr unta di tanah lapang.” (HR Al-Bukhari no. 982 dan 5552) Begitu pula tatkala beliau sedang melaksanakan ibadah haji, beliau menyembelih hewan al-hadyu di tempat beliau berada, yaitu Makkah dan Mina. Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: نَحَرْتُ هَهُنَا وَمِنَى كُلُّهَا مَنْحَرٌ فَانْحَرُوا فِي رِحَالِكُمْ “Aku menyembelih di sini, dan Mina semuanya adalah tempat penyembelihan. Hendaklah kalian menyembelih di rumah-rumah kalian.” (HR. Muslim, no. 1218 dan 149) Tidak dinukil dari beliau dan para sahabatnya satu haditspun yang shahih bahwa mereka mengirimkan hewan al-hadyu ke kota Madinah atau tempat lainnya untuk disembelih di sana. Begitu pula beliau tidak mengirimkan hewan qurban saat di Madinah ke kota Makkah atau yang lain untuk disembelih di sana. Adapun yang sering terjadi di masa kini, yaitu adanya sebagian kaum muslimin yang mentransfer sejumlah uang ke sebuah wilayah untuk dibelikan hewan qurban dan disembelih di sana, merupakan tindakan yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun menyembelih qurban di tempat domisili, kemudian membagikan dagingnya ke luar wilayah, maka hal tersebut diperbolehkan bila wilayah dia tidak ada lagi yang menerima atau jumlah daging sangat melimpah. Inilah fatwa ulama masa kini, di antaranya adalah Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam banyak karyanya, seperti Syarh Bulughul Maram (6/73), Liqa`at Babil Maftuh (1/128, 2/58-59, 85-87). Juga Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi dalam Fathur Rabbil Wadud (1/372-373), Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan sebagaimana dalam Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan (3/113-116). Lihat Fatawa Ramadhan (hal. 919-922) oleh Asyraf bin Maqshud. Penulis juga pernah bertanya langsung via telepon kepada Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafah, terkhusus masalah ini. Dan beliau menjawab sebagaimana yang telah diuraikan di atas dan menyebutkan fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu. Di antara perkara yang akan luput bila qurban disembelih di tempat lain adalah: 1. Ibadah qurban sebagai upaya taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan syi’ar Islam tidak terasa di keluarga pelaku atau masyarakatnya. Padahal inilah sisi terpenting dalam ibadah qurban. 2. Syariat menyembelih dengan tangan sendiri seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau diwakilkan serta dia menyaksikannya, akan terluput. 3. Syariat untuk memakan sebagiannya dan menyimpan sebagiannya juga akan luput. Wallahu a’lam bish-shawab. [Dinukil dari majalah Asy Syariah] Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: 2010

Senin, 25 Oktober 2010

Wahai Jamaah Haji, Bersabarlah dalam Meraih Ridha Allah

Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi Tidak ada satupun amalan ibadah yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala melainkan setan dari kalangan manusia dan jin mengambil bagian untuk menggagalkan usaha tersebut. Bisikan demi bisikan dihembuskan. Rayuan demi rayuan dilancarkan. Di antara mereka ada yang berhasil dan lolos dalam penyesatannya serta ada pula yang gagal. Kegagalan yang diderita oleh setan bukan berarti lampu merah untuk berhenti melancarkan serangannya, namun merupakan langkah awal untuk mencari jalan lain yang lebih baik serta lebih menguntungkan dalam menyesatkan yang dimangsa. Langkah paling positif bagi setan adalah bagaimana bisa menunggangi hawa nafsu setiap orang dan menjadikannya sebagai kendaraan dalam perjalanan di padang pasir dan sebagai bahtera dalam perjalanan di lautan. Bila hawa nafsu telah ditunggangi maka akan berdampak: 1. Mempertuhankannya. 2. Tunduk di bawah kehendaknya. 3. Berbuat karenanya. 4. Menerima kebenaran bila menguntungkannya dan menolak bila tidak menguntungkannya. 5. Melanggar ketentuan Rabbnya sekalipun dia memiliki ilmu tentangnya. 6. Loyalitas kepada orang yang semestinya di-bara` dan sebaliknya bara` kepada orang yang semestinya diberikan loyalitas. 7. Tidak mau mendengarkan dalil. 8. Tidak mau kembali kepada dalil-dalil dalam mengambil keyakinan, hukum, dan tatacara berdakwah. 9. Tidak menerima teguran karena kesalahan yang dilakukan. (Lihat secara ringkas Sallus Suyuf wal Asinnah karya Dr. Shalfiq, hal. 29-30) Dari sinilah setiap orang yang akan memikul sebuah ibadah membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang besar. Dia harus bertarung dengan musuh dari dirinya sekaligus bertarung dengan musuh dari luar dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa para shahabat bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampaikanlah kepada kami kalimat yang kami akan baca di saat kami berada di waktu pagi, sore, dan ketika kami akan tidur.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk berdoa: اللّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ وَالْمَلاَئِكَةُ يَشْهَدُوْنَ أَنَّكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ فَإِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ أَنْفُسِنَا وَمِنْ شَرِِّ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ وَشِرْكِهِ وَأَنْ نَقْتَرِفَ سُوْءًا عَلَى أَنْفُسِنَا أَوْ نَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ “Ya Allah pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang tidak ghaib, Engkau adalah Rabb segala sesuatu dan para malaikat bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah melainkan Engkau. Kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan diri-diri kami dan dari kejahatan setan yang terkutuk serta sekutunya, dan (kami berlindung dari melakukan kejelekan atas diri-diri kami atau kami berbuat kejelekan kepada seorang muslim).”1 Diriwayatkan dari Syakal bin Humaid radhiyallahu 'anhu: Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata: “Ya Rasulullah, ajarkan kepadaku perlindungan yang aku berlindung dengannya.” Dia berkata: Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundakku dan berkata: “Ucapkanlah: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِي وَمِنْ شَرِّ بَصَرِي وَمِنْ شَرِّ لِسَانِي وَمِنْ شَرِّ قَلْبِي وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّي ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan pendengaranku, kejelekan penglihatanku, lisanku, kejelekan hatiku, dan dari kejahatan kemaluanku’.”2 Dalam khutbatul hajah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا “Dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amalan-amalan kami.”3 Memang ibadah itu kelihatannya ringan dan enteng, namun bila diwujudkan akan menjadi sesutu yang amat berat. Sungguh banyak orang yang tidak sanggup untuk memikulnya, padahal sebenarnya bisa dipikul oleh orang yang paling lemah sekalipun. Di sinilah butuhnya kita untuk memurnikan hubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjaga akhlak yang baik kepada-Nya, bersabar dalam menghadapi segala gangguan di jalan menuju ridha-Nya, berdoa agar diberikan kekuatan, ketabahan dan keberanian untuk menghadapi segala ujian dan tantangan. Sabar dalam Tinjauan Agama Sabar adalah sebuah sifat yang sangat terpuji dan mulia. Sebuah sifat yang akan membuahkan sifat mulia lainnya, seperti keberanian untuk melawan tantangan hawa nafsu dalam menjalankan titah-titah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya serta meninggalkan segala hal yang dilarang-Nya, juga keridhaan yang tinggi dalam menerima segala yang diputuskan dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala pada dirinya. Sehingga jelas bahwa sabar adalah sebuah sifat yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sabar secara bahasa artinya menahan diri, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabb mereka di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya.” (Al-Kahfi: 28) Ibnul Qayyim menjelaskan: “Makna ayat ini adalah tahan dirimu bersama mereka.” Sabar menurut istilah adalah menahan diri dari berkeluh kesah dan marah, menahan lisan dari mengeluh serta menahan anggota badan dari ketidaktenangan.” (Madarijus Salikin 2/156, Fathul Majid, hal. 436) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan: “Sabar menurut syariat adalah menahan diri di atas sesuatu dari segala sesuatu, dan terbagi atas tiga perkara. Pertama: taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kedua: (menahan) diri dari segala keharaman, dan ketiga: menahan diri dari ketentuan taqdir Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tidak disukai. Adapun kesabaran dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah dengan cara menahan diri di atas ketaatan kepada-Nya, karena ketaatan bagi seseorang adalah sesuatu yang amat berat. Akan susah bagi seseorang untuk melakukannya dan terkadang rasa berat itu datang dari sisi badan, mungkin karena lemah dan capai. Mungkin juga rasa berat itu terjadi dari sisi harta seperti menunaikan zakat atau haji.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 1/67) Hakikat sabar adalah apabila seorang hamba menahan dirinya dan menundukkan diri di atas ketentuan-ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'alaserta bukti-bukti kebesaran-Nya, baik yang ada pada diri-Nya atau di alam ini, dan dia berjalan bersama segala nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tunduk di bawah kandungan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sifat-sifat-Nya. Berjalan di atas fitrah dan cahaya fitrah tersebut, dan berjalan seiring bersama para rasul, kitab-kitab, dan risalah-risalah-Nya. Di saat itulah dia akan merasakan manisnya kesabaran. Oleh karena itu di dalam kitab-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala sering dan banyak menggandengkan kesabaran dengan kejujuran dan syukur. (Ta’liq Madarijus Salikin, 2/156) Sabar dalam Menjalankan Tugas Agama Setiap orang yang hatinya masih hidup dan disinari dengan iman akan merasa bahwa ketika imannya goyang atau ternodai dengan berbagai bentuk kemaksiatan, kerapkali dia merasakan bahwa ketaatan itu adalah sesuatu yang amat sangat berat dan kemaksiatan menjadi ringan dan gampang untuk dikerjakan. Begitu pula sebaliknya. Ketika iman seseorang kokoh dan kuat, ketaatan amat sangat ringan dan mudah baginya. Dan dia merasakan adanya kekuatan pada dirinya yang menjaganya dari terjerumus dalam kemaksiatan sekalipun kemaksiatan ini di hadapannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita tentang tujuh orang yang akan mendapatkan perlindungan pada hari kiamat yang tidak ada perlindungan lagi selain perlindungan Allah Subhanahu wa Ta'ala, di antaranya adalah: وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ “Seseorang yang dipanggil oleh wanita bangsawan dan cantik, namun dia berkata: ‘Saya takut kepada Allah’.” Semua tugas agama sesungguhnya merupakan perwujudan dari iman dan Islam. Sehingga barangsiapa yang mengemban tugas-tugas tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, itulah wujud keimanan dan keislamannya. Sebaliknya, bila ditinggalkan maka itulah wujud kelemahan imannya. Sungguh bagi orang yang telah dikuasai oleh setan dan hawa nafsu, memindahkan Gunung Uhud lebih ringan dibanding melaksanakan tugas-tugas agama. Di sinilah letak kedudukan sabar dan pentingnya dalam menjalankan tugas-tugas tersebut. ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: وَجَدْنَا خَيْرَ عَيْشِنَا بِالصَّبْرِ “Kami menjumpai kelezatan hidup dengan kesabaran.”4 Contoh dalam hal ini adalah kesabaran seorang bapak dan anak dalam menerima dan menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, walaupun perintah tersebut tidak disukai oleh setiap insan yaitu perintah untuk menyembelih putranya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ “Maka tatkala (Isma’il) telah beranjak dewasa, (Nabi) Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat di dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu, maka bagaimana pendapatmu?’ (Isma’il) berkata: ‘Wahai bapakku, lakukanlah apa yang engkau diperintahkan, insya Allah saya termasuk orang-orang yang bersabar’.” (Ash-Shaffat: 102) Bentuk-bentuk Kesabaran Kesabaran dibutuhkan dalam setiap situasi dan kondisi. Tidak ada sesaat pun dalam hidup ini melainkan butuh kesabaran. Di saat seseorang berada di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, apakah dia akan meninggalkannya karena mendapatkan caci maki dan celaan? Atau di saat dia berada di ambang pintu kemaksiatan, apakah dia akan menahan diri darinya sekalipun semua pihak menyetujui dan menerima? Atau di saat dia mendapatkan kenikmatan, apakah dia tetap dalam keimanan yang benar dan lurus kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tetap dalam ketaatan dan pengabdian kepada-Nya, atau sebaliknya dia justru berani bermaksiat dengan nikmat tersebut dan berani melanggar larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala? Dan bila Allah Subhanahu wa Ta'ala memberimu ujian dan cobaan, apakah engkau akan menerimanya dengan lapang dada ataukah berkeluh kesah dan benci kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala? Dua keadaan dan situasi ini telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah sabda beliau yang diriwayatkan oleh Shuhaib radhiyallahu 'anhu: عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ. إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Sungguh sangat mengherankan urusan orang beriman di mana semua urusannya adalah baik, yang demikian itu tidak diberikan melainkan bagi orang yang beriman. Bila ia ditimpa kebahagiaan dia bersyukur, dan itu adalah kebaikan baginya; dan bila ia ditimpa musibah maka dia bersabar, itu kebaikan pula baginya.”5 Tiga Bentuk Kesabaran Pertama: Sabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kedua: Bersabar dari bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ketiga: Bersabar atas segala ketentuan taqdir Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang baik atau yang buruk. Ketiga bentuk kesabaran ini sesungguhnya kembali kepada dua perkara yaitu: 1. Kesabaran yang terkait dengan usaha setiap hamba. Ini adalah kesabaran dalam menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. 2. Kesabaran yang tidak terkait sedikitpun dengan usaha manusia. Ini adalah kesabaran dalam menerima segala ketentuan taqdir Allah Subhanahu wa Ta'ala. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan: “Kesabaran Nabi Yusuf untuk tidak menaati keinginan istri Al-’Aziz (penguasa negeri itu), lebih tinggi dibandingkan kesabarannya di saat dia dilemparkan ke dalam sumur, dijual dan dipisahkan dari bapaknya. Karena semua ini berlangsung dan terjadi tidak dengan keinginan dan usahanya, sehingga seorang hamba tidak memiliki jalan lain kecuali harus bersabar. Adapun kesabaran beliau untuk tidak bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah kesabaran yang merupakan hasil usaha dalam melawan keinginan-keinginan nafsu. Terlebih dengan adanya dorongan yang kuat untuk melakukan kemaksiatan tersebut. Nabi Yusuf adalah seorang pemuda, yang mana dorongan untuk bermaksiat masih kuat. Beliau juga sendirian, tidak memiliki sesuatu yang akan menggantikan dorongan syahwatnya. Beliau juga dalam keadaan asing, di mana orang asing tidak akan memiliki rasa malu di negeri asingnya dari keluarga, teman-teman dan orang yang dikenalnya. Selain itu, beliau dalam keadaan dimiliki (sebagai budak) yang tidak memiliki kekuatan untuk (menolak) sebagaimana orang yang merdeka. Sementara di sisi lain wanita tersebut adalah seorang yang cantik dan memiliki kedudukan, bahkan tuan negeri tersebut. Diiringi dengan tidak adanya lagi pengawas, dan dia pulalah yang mengajak Nabi Yusuf (berbuat zina). Dan wanita tersebut bersemangat untuk mengajaknya, bahkan mengancamnya bila dia tidak mau dengan ancaman penjara dan penghinaan. Dengan adanya semua pendorong ini, Nabi Yusuf berusaha untuk bersabar dan lebih mendahulukan apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Coba) bandingkan dengan (tingkat) kesabarannya di dalam sumur, yang bukan dari usahanya.” (Madarijus Salikin, 2/155) Haji dan Sabar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kesabaran dalam menunaikan ketaatan lebih sempurna dan lebih afdhal dibandingkan kesabaran dalam menjauhi keharaman. Karena maslahat mengerjakan ketaatan lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dibandingkan meninggalkan kemaksiatan. Juga karena kerusakan yang disebabkan oleh meninggalkan ketaatan lebih jelek dibandingkan kerusakan karena adanya kemaksiatan.” (Madarijus Salikin, 2/157) Ibadah haji termasuk salah satu amalan yang besar di dalam Islam. Haji membutuhkan segala kesanggupan dan kemampuan, yaitu kesanggupan dan kemampuan harta serta badan. 1. Kesanggupan Harta Harta seringkali menjadikan seseorang lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan perintah-Nya. Terlebih jika orang tersebut memiliki sifat rakus dan bakhil. Harta seringkali menjadikan orang berani untuk berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagai bentuk ingkar terhadap nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ. حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ. كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ. ثُمَّ كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ. كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْن ِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ. ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian. Sampai kalian masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui (akibat perbuatan itu). Dan janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kalian akan benar-benar melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin. Kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kalian bermegah-megahan di dunia).” (At-Takatsur: 1-8) اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِيْنَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-bangga dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani kemudian tanaman itu menjadi kering dan kalian melihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى وَادِيًا ثَالِثًا وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ “Jikalau anak Adam memiliki dua lembah dari harta (dalam riwayat yang lain satu lembah emas) niscaya dia akan mencari yang ketiga. Dan tidak ada yang akan menutup tenggorokan anak Adam melainkan tanah.”6 Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: بَادِرُوا بِاْلأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا “Bersegeralah kalian untuk melakukan amal kebajikan karena akan datang fitnah-fitnah bagaikan gelapnya potongan malam, seseorang di pagi hari beriman maka di sore harinya dia kafir dan di sore harinya dia beriman di pagi harinya dia kafir, dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.”7 2. Kekuatan Fisik Kekuatan fisik merupakan salah satu nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang harus disyukuri. Kekuatan fisik sangatlah berarti bagi orang-orang yang beriman dalam menjalankan tugas-tugas agama. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan di dalam sebuah firman-Nya: قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ “Salah seorang dari kedua wanita tersebut berkata: ‘Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26) Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan Thalut dengan keluasan ilmu dan kekuatan fisik melalui lisan seorang nabi (Bani Israil) dalam sebuah firman-Nya: وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُوْنُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi raja kalian.’ Mereka menjawab: ‘Bagaimana bisa Thalut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya sedangkan diapun tidak diberi kekayaan yang banyak.’ Nabi mereka berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian dan menganugerahkan ilmu yang luas serta tubuh yang perkasa, dan Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha luas pemberiannya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 247) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada setiap mereka ada kebaikannya. Bersemangatlah kamu untuk melakukan apa yang bermanfaat buatmu dan minta tolonglah kepada Allah dan jangan bermalas-malasan. Jika kamu ditimpa oleh sesuatu musibah, janganlah kamu mengatakan: ‘Kalau saya melakukan (demikian dan demikian), niscaya terjadi demikan dan demikian.’ Akan tetapi katakanlah: ‘Semuanya telah ditaqdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan kehendak-Nya.’ Karena kata ‘seandainya’ akan membuka pintu setan.”8 Namun tidak jarang seseorang yang memiliki kekuatan materiil dan spritual berani menolak perintah Dzat yang telah memberikan segala kenikmatan tersebut kepadanya. Dia pun melalaikan semua tugasnya. Demikianlah sifat seseorang yang tidak dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bila diuji dengan ujian, dia banyak berkeluh kesah. Bila diberikan kenikmatan dia kikir, bakhil dan ingkar. Bila diberi kesehatan dan kekuatan, dia menjadi orang yang berani menentang perintah. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Dua nikmat yang kebanyakan orang lalai dengannya yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”9 Ibadah Haji Butuh Kekuatan Fisik Seluruh amalan Islami Allah Subhanahu wa Ta'ala kaitkan dengan kesanggupan. Artinya bahwa bila ada orang yang tidak sanggup menurut syariat Islam, maka dia tidak dipaksa untuk melakukannya, atau dia akan diberi keringanan. Inilah bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam syariat-Nya dan kebijaksanaan-Nya dalam meletakkan hukum. Salah satu dari sekian bentuk ibadah yang butuh kekuatan fisik dan harta adalah ibadah haji. Orang yang mendalami amalan dalam ibadah haji ini akan mengetahui bahwa amalan ini sangat membutuhkan kesabaran dalam ketaatan, kekuatan dalam keimanan, dan kesanggupan dalam menjalankannya. Contohnya: a. Thawaf adalah salah satu amalan haji yang wujudnya adalah mengelilingi Baitullah tujuh kali dan berlari kecil pada tiga putaran pertama. Hal ini membutuhkan kekuatan dan kesabaran. Apalagi disertai dengan padatnya umat yang sedang merebut keutamaan dalam thawaf tersebut, mau tidak mau akan berdesak-desakan. b. Sa’i, yaitu lari-lari kecil antara bukit Shafa menuju Marwah tujuh kali dan berakhir pada bukit Marwah. Ini juga membutuhkan kekuatan dan kesabaran. c. Wukuf di ‘Arafah membutuhkan keberanian, kekuatan dan kesabaran. d. Melempar tiga Jumrah dalam keadaan berdesak-desakan dengan ribuan kaum muslimin lain, dan sebagainya. Kesabaran dibutuhkan dalam tiga hal, yaitu dalam melaksanakan ketaatan, meninggalkan larangan dan menerima segala ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang baik atau yang buruk. Kesabaran itu memang pahit namun buahnya lebih manis dari madu. Wallahu a’lam. 1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud no. 4420, At-Tirmidzi no. 3314 dari shahabat Abu Hurairah dan Abu Bakr radhiyallahu 'anhuma, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih At-Tirmidzi no. 2701 dan dalam kitab Al-Kalimut Thayyib no. 22. 2 Diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi no. 3414, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2775, Shahih Sunan Abu Dawud no. 1387, dan di dalam Al-Misykat no. 2472 3 Diriwayatkan oleh Al-Imam An-Nasa’i no. 1882 dan 1883, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma. 4 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari secara mu’allaq di dalam Shahih beliau dalam Kitab Raqa‘iq. 5 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Kitab Az-Zuhd qar Raqa`iq, Bab Al-Mu`min Amruhu Kulluhu Khair, no. 5318. 6 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5959, Al-Imam Muslim 1737 dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, juga dari shahabat yang lain seperti Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Az-Zubair, Ubai bin Ka’b dalam riwayat Al-Imam Muslim. 7 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim no. 165 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. 8 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim no. 4816 9 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5933 Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: 2010

Senin, 11 Oktober 2010

Agar Dada Seorang Hamba menjadi Lapang dan Bersinar

Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi Hiruk pikuk kehidupan dengan berbagai bentuk aktivitas yang terus bergulir tanpa henti sering melahirkan halangan dan tantangan yang mengantar seorang hamba kepada gundah gulana dan ketidaktenangan hati. Namun bagi seorang mukmin sejati, cahaya Al-Qur’ân dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam adalah penerang jalan menuju kepada kehidupan indah yang senantiasa membuat dadanya lapang dan bercahaya. Hidup dengan dada yang lapang adalah suatu nikmat yang sangat berharga dan dambaan setiap insan. Renungilah besarnya nikmat ini sehingga Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan Nabi-Nya terhadap karunia tersebut dalam firman-Nya, “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. Al-Insyirâh :1) Dan Nabi Musa ‘alaissalâm setelah beliau dimuliakan menjadi seorang rasul, maka awal doa beliau kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ, “Berkata Musa: “Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku,”…” (QS. Thohâ :25) Banyak hal dalam tuntunan syari’at kita yang diterangkan sebagai tumpuan-tumpuan berpijak bagi seorang hamba agar senantiasa berhati lapang dan bercahaya. Berikut ini, beberapa pilar pelapang dada seorang hamba, kami simpulkan dari keterangan Ibnul Qayyim[1] dan selainnya : 1. Memurnikan Tauhid. Memurnikan peribadatan kepada Allah Taqaddasa Dzikruhu adalah tonggak keselamatan, tujuan dari penciptaan manusia, misi dakwah setiap nabi yang diutus kepada makhluk dan itulah adalah hakikat dari Islam yang bermakna berserah diri, ikhlash dan tunduk kepada-Nya. Maka sangat wajar bila memurnikan tauhid adalah hal yang sangat melapangkan dada dan meneranginya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam Al-Qur’ân Al-Karîm, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar :22) “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. Dan inilah jalan Rabbmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran.” (QS. Al-An’âm :125-126) Dan dengan memurnikan ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla manusia akan hidup di bawah teduhan keamanan dan kesejahteraan. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’âm :82) Dan dalam Tanzil-Nya, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nûr : 55) 2. Berpegang teguh terhadap Al-Qur’ân dan As-Sunnah. Allah Jalla wa ‘Alâ menurunkan Al-Qur`ân sebagai rahmat dan kebahagian bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl : 89) Dan Allah Ta’âlâ berfirman, “Dan Kami turunkan dari Al-Qur`ân suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`ân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (QS. Al-Isrô` : 82) Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyatakan, لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيْغُ بَعْدِيْ عَنْهَا إِلَّا هَالِكٌ “Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas suatu yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah seorangpun menyimpang darinya setelahku kecuali akan binasa.” [2] Maka sangatlah lumrah bagi siapa yang berpegang teguh terhadap tuntunan Al-Qur`ân dan As-Sunnah akan senantiasa membuat dadanya lapang dan bersinar penuh petunjuk dan kebahagian tanpa ada kesensaraan. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thôhâ : 123-124) “Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur`ân ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (QS. Thôhâ : 1-3) 3. Berbekal Ilmu Syari’at. Tatkala seluruh kebaikan bagi manusia tercakup dalam ilmu syari’at maka segala kebahagian dan ketenangan, keberhasilan dan kebahagian manusia sangat bertumpu pada ilmu syari’at. Karena itu Allah Ta’âlâ tidak memerintah Nabi-Nya untuk meminta tambahan nikmat apapun selain dari tambahan ilmu. Allah Ta’âlâ berfirman, “Dan katakanlah, “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”.” (QS. Thôhâ : 114) Dan dengan ilmu syari’at itulah diraihnya berbagai derajat keutamaan di dunia dan akhirat. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujâdilah :11) Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Sesungguhnya ilmu itu melapangkan dada dan meluaskannya sehingga ia menjadi lebih luas dari dunia. Dan kejahilan akan mewariskan kesempitan, keterbatasan dan keterkurungan. Kapan ilmu seorang hamba semakin luas maka dadanya akan semakin lapang dan lebih meluas. Namun ini bukanlah pada setiap ilmu, bahkan hanya pada ilmu yang terwarisi dari Ar-Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam yaitu ilmu yang bermanfaat. Orang-orang yang berilmu (merekalah) yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling indah akhlaknya dan paling baik kehidupannya.” [3] 4. Kecintaan Kepada Allah. Salah satu sifat yang wajib dimiliki oleh seorang yang beriman bahwa kecintaannya kepada Allah adalah yang terbesar dan melebihi kecintaannya kepada seluruh makhluk. Allah berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah :165) Kecintaannya kepada Allah tersebut akan mengantar seorang hamba menuju kehidupan yang sangat indah, kelapangan hati dan ketenangan jiwa karena rongga hatinya hanya terpenuhi oleh kecintaan kepada Allah dan ketergantungan kepada-Nya. Wajarlah bila Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda, ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءُ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا للهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ “Tiga (sifat) yang tidaklah terdapat pada seseorang, pasti ia akan mendapatkan kelezatan iman; hendaknya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai melebihi selain keduanya, dan ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya melainkan hanya karena Allah, serta ia benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.” [4] 5. Senantiasa bertaubat. Menyadari kekurangan, menyesali kesalahan dan bertaubat kepada Yang Maha Mencipta adalah diantara sifat-sifat yang memberikan berbagai keajaiban dalam kehidupan seorang hamba dan sangat menerangi hati serta melapangkan dadanya. Karena itu, sikap senantiasa bertaubat sangat ditekankan dalam tuntunan syari’at Islam yang mulia. Allah menjamin keberuntungan bagi orang-orang yang senatiasa bertaubat, “Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (Q.S. An-Nûr :31) Dari doa Nabi Ibrahim ‘alaissalâm untuk mengujudkan keamanan dan kesejahteraan pada negeri Mekkah yang dirintisnya, “Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan berilah taubat untuk kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah :128) Dan sangatlah indah kehidupan orang-orang yang bertaubat tatkala sifat mulia mereka itu akan memberikan berbagai keutamaan dan kenikmatan sebagai hamba-hamba yang dicintai oleh Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah :222) 6. Dzikir. Dzikir adalah penyejuk hati dan penenang jiwa. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman, “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan dzikir kepada Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’d :28) Dengan dzikir seorang hamba akan mendapatkan pengampunan dan pahala yang sangat besar, “…dan laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Al-Ahzâb :35) Dan keberuntungan bagi orang-orang yang banyak berdzikir, Dan dzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah :10) Dan sungguh dzikir membuat hati seorang hamba menjadi lapang dan bersinar tanpa ada kerugian seperti yang terjadi pada orang-orang lalai, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari dzikir kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Munâfiqûn :9) 7. Berbuat baik kepada Makhluk. Memberi manfaat kepada makhluk dengan harta, badan, kedudukan dan selainnya dari berbagai bentuk perbuatan baik adalah hal yang sangat melapangkan dada seorang hamba dan meneranginya. Karena itu Allah ‘Azza wa Jalla memerintah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah menyuruh untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl :90) Dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةِ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةِ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ “Sesusngguhnya Allah telah menetapkan untuk berbuat kebajikan terhadap segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh perbaiklah cara membunuhnya, apabila kalian menyembelih perbaiklah cara menyembelihnya dan hendaknya salah seorang dari kalian mempertajam pisaunya dan membuat tenang sembelihannya.” [5] Dan di akhirat kelak Allah menjanjikan, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Adz-Dzâriyât :15-16) Demikian beberapa pilar pelapang dada seorang mukmin. Dan perlu diketahui bahwa segala perkara yang bertentangan dengan apa yang disebutkan di atas pasti akan memberikan kesempitan, kesesakan dan gundah gulana. Karena itu, tidak seorang pun yang lebih sempit hatinya dari pelaku kesyirikan. Dan siapa yang berpaling dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah maka ia akan senantiasa berada dalam berbagai kesengsaraan. Orang yang tidak memiliki ilmu syar’iy akan jauh dari makna ketenangan. Hati yang tergantung kepada selain Allah akan merasakan berbagai kepedihan dan kepahitan. Dan hati yang lalai dari dzikir kepada Allah bagaikan ikan yang dipisahkan dari air. Dan jeleknya hubungan dengan makhluk lain akan melahirkan berbagai problem dalam kehidupan. Dan demikianlah seterusnya. Tentunya banyak tuntunan pelapang dada yang belum bisa diuraikan disini. Namun kami berharap keterangan-keterangan di atas bisa menjadi pencerahan dan penyenjuk bagi setiap muslim dan muslim dalam mempersiapkan bekal untuk menyonsong kehidupan kekal abadi di akhirat kelak. Waffaqallâhu Al-Jamî’ li mâ yuhibbihu wa yardhâhu. وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُوْلِهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ. [1] Dalam kitabnya Zâdul Ma’âd 2/22-26, cet. Ke-3 dari Mu`assah Ar-Risalah [2] Diriwayatkan oleh Ahmad 4/126, Ibnu Mâjah no. 5, 43, Ibnu Abi ‘Âshim no. 48-49 dan Al-Hâkim 1/96 dari hadits Abu Dardâ` radhiyallâhu ‘anhu. Dan dishohihkan oleh Al-Albâny dalam Zhilâlul Jannah 1/27. [3] Zâdul Ma’âd 2/23 [4] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. [5] Hadits Syaddâd bin Aus radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim. Sumber : http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=PenyejukHati&article=83 Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: 2010

Senin, 20 September 2010

بسم الله الرحمن الرحيم

Syarat Diterimanya Amal Jurnal Islamy Al-Atsariyyah Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin –semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan kepada kalian untuk berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-sunnah-, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menerima suatu amalan apapun dan dari siapapun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat mendasar dan prinsipil, yaitu : 1. Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah, sehingga pelaku amalan tersebut sama sekali tidak mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali wajah Allah Ta’ala. 2. Kaifiat pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Dalil dari kedua syarat ini disebutkan oleh Allah –Subhanahu wa Ta’ala- di beberapa tempat dalam Al-Qur’an, di antaranya : الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “ Yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji kalian, siapa dianatra kalian yang paling baik amalannya “. (QS. Al-Mulk : 2) Al-Fudhoil bin ‘Iyadh Rahimahullah berkata –sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah rahimahullah (18/250)- menafsirkan firman Allah “siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”, “(Yaitu) Yang paling ikhlasnya dan yang paling benarnya. Karena sesungguhnya amalan, jika ada keikhlasan akan tetapi belum benar maka tidak akan diterima, dan jika amalan itu benar akan tetapi tanpa keikhlasan maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah yang hanya untuk Allah dan yang benar adalah yang berada di atas sunnah ( Rasulullah)”. Dan juga firman Allah –Ta’ala-: “Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amalan yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi: 110) Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “’Maka hendaknya ia mengerjakan amala yang shaleh’, yaitu apa-apa yang sesuai dengan syari’at Allah, ‘dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya’ yaitu yang hanya diinginkan dengannya wajah Allah tanpa ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua rukun dari amalan yang diterima, harus ikhlas hanya kepada Allah dan benar di atas syari’at Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam”. Syarat Pertama : Pemurnian Keikhlasan Hanya Kepada Allah. Ini adalah konsekuensi dari syahadat pertama yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah –Subhanahu wa Ta’ala-. Allah –Subhanahu wa Ta’ala- berfirman : إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (2) أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ”Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al quran) dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)”. (QS. Az-Zumar: 2-3) Dan Allah Ta’ala berfirman : ”Katakanlah: ”Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. (QS. Az-Zumar : 11) Dan Allah Ta’ala berfirman : ”Katakanlah : hanya Allah saja Yang aku sembah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku” ( Az-Zumar : 14) Dan Allah Ta’ala berfirman : ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”. (QS. Al-bayyinah : 5) Dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga telah menegaskan dalam sabda beliau : ”Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ’umar bin Khaththab radhiallahu ’anhu) Keikhlasan yang diinginkan disini adalah mencakup dua perkara : 1. Lepas dari syirik ashghar (kecil) berupa riya’ (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar), keinginan mendapatkan balasan duniawi dari amalannya dan yang semisalnya dari bentuk-bentuk kitidakikhlasan, karena semua niat-niat diatas menyebabkan amalan yang sedang dikerjakan sia-sia, tidak ada artinya dan tidak akan diterima oleh Allah –Subhanahu wa Ta’ala-. Allah –Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsy-: ”Siapa saja yang beramal dengan suatu amalan apapun yang dia memperserikatkan Saya bersama selain Saya dalam amalan tersebut maka akan saya tinggalkan dia5 dan siapa yang dia perserikatkan bersama Saya”. (HSR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ’anhu) Dan Allah -Subhanahu wa Ta’ala- juga telah menegaskan : ”Barangsiapa yang menghendaki (dengan ibadahnya) kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan’. (QS. Hud : 15-16) 1. Lepas dari syirik akbar (besar), yaitu menjadikan sebahagian dari atau seluruh ibadah yang sedang dia amalkan untuk selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Perkara kedua ini jauh lebih berbahaya, karena tidak hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan sia-sia dan tidak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala ibadah yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman mengancam Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan seluruh Nabi sebelum beliau : ”Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-nabi) yang sebelummu : ”Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az-Zumar : 65) Dan semakna dengannya firman Allah –’Azza wa Jalla- : ”Seandainya mereka (para Nabi dan Rasul) mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-An’am : 88) Syarat Kedua : Pemurnian Ittiba’ (pengikutan) Kepada Ar-Rasul Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Ini adalah konsekuensi syahadat yang kedua yaitu persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah -Subhanahu wa Ta’ala- kepada para hamba agar mengajari mereka cara menyembah kepada-Nya. Dan ini juga merupakan salah satu rukun dari syahadat yang kedua ini, yaitu tidak menyembah Allah -’Azza wa Jalla- kecuali dengan apa yang beliau (Rasulullah) syari’atkan. Maka Allah -Subhanahu wa Ta’ala- tidaklah boleh disembah dengan bid’ah, tidak pula dengan hawa nafsu, adat istiadat, kebiasaan, perasaan atau anggapan-anggapan yang ia pandang baik karena sesungguhnya asal dari ibadah itu adalah syari’at, maka nanti dikatakan ibadah kalau disyari’atkan. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menegaskan : ”Katakanlah : ”Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian,” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali ’Imran:31) Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, ”Ayat yang mulia ini adalah hakim atas semua orang yang mengaku mencintai Allah akan tetapi dia tidak di atas jalan Nabi Muhammad. Karena sesungguhnya dia dusta dalam pengakuannya tersebut, sampai dia mengikuti syari’at kenabian pada seluruh ucapan dan perbuatannya.” Dan Allah -’Azza wa Jalla- berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 3 : ”Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku cukupkan pada kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian”. Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, ”Ini adalah nikmat terbesar dari seluruh nikmat Allah Ta’ala atas ummat ini yaitu Allah Ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka –shalawat dan salam Allah atas beliau-. Oleh karena itulah Allah Ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi, mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin, maka tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan dan tidak ada agama kecuali apa yang beliau syari’atkan…”. Maka siapa saja yang beramal dengan suatu ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam maka amalan tersebut tertolak dan sia-sia di sisi Allah -’Azza wa Jalla-. Allah -’Azza wa Jalla- berfirman : ”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amala itu (bagaikan) debu yang beterbangan”. (QS Al Furqan : 23) Dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda : ”Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ’A’isyah Radhiallahu ’anha). Dan dalam lafadz Imam Muslim, ”Siapa saja yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya maka amalan itu tertolak”. Dan termasuk dalil yang menunjukkan akan syarat kedua ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Muslim Rahimahullahu dari sahabat Al-Barro’ bin ’Azib Radhiallahu ’anhu, bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda dalam khutbah ’Iedul Adhha : … ومن نسك قبل الصلاة، فإنه قبل الصلاة ولا نسك له. فقال أبو بردة بن نيار، خال البراء: يا رسول الله، فإني نسكت شاتي قبل الصلاة، وعرفت أن اليوم يوم أكل وشرب، وأحببت أن تكون شاتي أول ما يذبح في بيتي، فذبحت شاتي وتغذيت قبل أن آتي الصلاة، قال: شاتك شاة لحم ”… dan barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (’Iedul Adhha) maka dia teranggap sebelum shalat maka tidak ada sembelihan baginya (yakni tidak syah). Maka Abu Burdah bin Niyar paman dari Al-Barro’ berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah menyembelih kambingku sebelum shalat karena saya mengetahui bahwa hari ini adalah hari makan dan minum dan saya senang kalau kambingku adalah hewan pertama yang disembelih di rumahku maka sayapun menyembelih kambingku dan saya sarapan dengannya sebelum mendatangi shalat ”. Maka beliau bersabda, ”Kambingmu adalah kambing daging6””. Berkata Al-Hafizh dalam Fathul Bary (10/17), ”Berkata Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah, ”Dan di dalam hadits ini terdapat (faidah) bahwa suatu amalan, walaupun bersesuaian dengan niat yang baik (tetap) tidak diterima kecuali jika dilaksanakan sesuai dengan syari’at””. Dan juga hal ini nampak dari kisah Ibnu Mas’ud Radhiallahu ’anhu yang masyhur bersama para pelaku dzikir jama’iy. ’Amr bin Salamah Ibnul Harits rahimahullah bercerita : كنا نجلس على باب عبد الله بن مسعود قبل صلاة الغداة , فإذا خرج مشينا معه إلى المسجد , فجاءنا أبو موسى الأشعري , فقال : أخرج إليكم أبو عبد الرحمن بعد ? قلنا : لا , فجلس معنا حتى خرج , فلما خرج قمنا إليه جميعا , فقال له أبو موسى : يا أبا عبد الرحمن ! إنى رأيت في المسجد آنفا أمرا أنكرته , و لم أر و الحمد لله إلا خيرا , قال : فما هو ? فقال : إن عشت فستراه , قال : رأيت في المسجد قوما حلقا جلوسا , ينتظرون الصلاة , في كل حلقة رجل , و في أيديهم حصى , فيقول : كبروا مائة , فيكبرون مائة , فيقول هللوا مائة , فيهللون مائة , و يقول سبحوا مائة , فيسبحون مائة , قال : فماذا قلت لهم ? قال : ما قلت لهم شيئا انتظار رأيك , قال : أفلا أمرتهم أن يعدوا سيئاتهم , و ضمنت لهم أن لا يضيع من حسناتهم شيء ? ثم مضى و مضينا معه , حتى أتى حلقة من تلك الحلق , فوقف عليهم , فقال : ما هذا الذي أراكم تصنعون ? قالوا : يا أبا عبد الرحمن ! حصى نعد به التكبير و التهليل و التسبيح , قال : فعدوا سيئاتكم فأنا ضامن أن لا يضيع من حسناتكم شيء , و يحكم يا أمة محمد ! ما أسرع هلكتكم ! هؤلاء صحابة نبيكم صلى الله عليه وسلم متوافرون , و هذه ثيابه لم تبل , و آنيته لم تكسر , والذي نفسي بيده إنكم لعلى ملة هي أهدى من ملة محمد , أو مفتتحوا باب ضلالة ? ! قالوا والله : يا أبا عبد الرحمن ! ما أردنا إلا الخير , قال : و كم من مريد للخير لن يصيبه , إن رسول الله صلى الله عليه وسلم حدثنا : ( فذكر الحديث ) , وايم الله ما أدري لعل أكثرهم منكم ! ثم تولى عنهم , فقال عمرو بن سلمة : فرأينا عامة أولئك الحلق يطاعنونا يوم النهروان مع الخوارج ” . ”Kami pernah duduk-duduk di depan pintu rumah ’Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat shubuh maka jika beliau keluar, kami akan berjalan bersamanya ke masjid. Maka Abu Musa Al-Asy’ary mendatangi kami lalu berkata, ”Apakah Abu ’Abdirrahman (kunyah dari Ibnu Mas’ud) sudah keluar kepada kalian?”, kami berkata, ”Belum”, maka diapun duduk bersama kami sampai beliau keluar. Tatkala beliau keluar, kami semuanya berdiri menuju kepadanya, lalu Abu Musa berkata kepadanya, ”Wahai Abu ’Abdirrahman, sesungguhnya baru saja saya melihat di masjid suatu perkara yang saya ingkari dan saya tidak berprasangka –alhamdulillah- kecuali kebaikan”, beliau berkata, ”Apa perkara itu?”, dia menjawab, ”Kalau engkau masih hidup maka engkau akan melihatnya, saya melihat di masjid ada sekelompok orang duduk-duduk dalam beberapa halaqah (majelis) sambil menunggu shalat, di setiap halaqah ada seorang lelaki (yang memimpin) –ada di tangan-tangan mereka ada batu-batu kecil-, lalu orang (pemimpin) itu berkata, ”Bertakbirlah kalian sebanyak 100 kali”, maka merekapun bertakbir 100 kali, lalu orang itu berkata lagi, ”Bertahlillah kalian senbanyak 100 kali”, maka merekapun bertahlil 100 kali, orang itu berkata lagi, ”Bertasbihlah kalian sebanyak 100 kali”, maka merekapun bertasbih 100 kali. Beliau berkata, ”Apa yang engkau katakan kepada mereka?”, dia (Abu Musa) menjawab, ”Saya tidak mengatakan sesuatu apapun kepada mereka karena menunggu pendapat dan perintahmu”. Maka beliau berkata, ”Tidaklah engkau perintahkan kepada mereka agar mereka menghitung kejelekan-kejelekan mereka dan kamu jaminkan kepada mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan ada yang sia-sia?!”, Kemudian beliau pergi dan kami pergi bersamanya sampai beliau mendatangi salah satu halaqoh dari halaqoh-halaqoh tadi lalu berdiri di depan mereka dan berkata, ”Perbuatan apa ini yang saya melihat kalian melakukannya?!”, mereka menjawab, ”Wahai Abu ’Abdirrahman, ini adalah kerikil-kerikil yang kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih dengannya”, maka beliau berkata, ”Maka hitunglah kejelekan-kejelekan kalian dan saya jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan sia-sia, betapa kasihannya kalian wahai ummat Muhammad, begitu cepatnya kehancuran kalian, ini mereka para sahabat Nabi kalian Shollallahu ‘alaihi wasallam masih banyak bertebaran, ini pakaian beliau (Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam) belum lagi usang dan bejana-bejana beliau belum lagi pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kalian betul-betul berada di atas suatu agama yang lebih berpetunjuk daripada agama Muhammad atau kalian sedang membuka pintu kesesatan?!”, mereka berkata , ”Wahai Abu ’Abdirrahman, demi Allah kami tidak menginginkan kecuali kebaikan”, maka beliau berkata, ”Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi dia tidak mendapatkannya, sesungguhnya Rasulullah menceritakan kepada kami tentang suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur’an akan tetapi (bacaan mereka) tidak melewati tenggorokan mereka, demi Allah, saya tidak tahu barangkali kebanyakan mereka adalah dari kalian kemudian beliau meninggalkan mereka”. Maka Amr bin Salamah berkata , ”Kami melihat kebanyakan orang-orang di halaqoh itu adalah yang menyerang kami bersama khawarij pada perang Nahrawan”. (HR. Ad-Darimy dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 2005) Maka perhatikanlah kisah ini baik-baik –Semoga Allah merahmatimu- niscaya engkau akan mendapatkan suatu harta yang lebih berharga daripada dunia dan seisinya, bagaimana sahabat Ibnu Mas’ud Radhiallahu ’anhu menghukumi perbuatan mereka sebagai bid’ah dan kesesatan tanpa memandang sedikitpun kepada jenis amalan yang mereka perbuat dan tidak pula memandang sedikitpun kepada maksud dan niat mereka melakukannya, karena sekali lagi suatu perbuatan yang walaupun asalnya adalah ibadah dan walaupun dikerjakan dengan niat-niat yang baik dan penuh keikhlasan akan tetapi bila pelaksanaannya tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam maka semuanya tetap tertolak dan dianggap sebagai suatu kesesatan, maka bagaimana lagi amalan bid’ah itu asalnya memang bukan merupakan ibadah dan tidak dikerjakan dengan keikhlasan?!. Al-Imam Ibnul Qoyyim dalam Madarijus Salikin (1/95-97) telah membagi manusia berdasarkan dua syarat ini menjadin empat golongan yang kesimpulannya sebagai berikut : 1. Siapa yang dalam amalannya terkumpul kedua syarat di atas. Mereka adalah orang-orang yang menyembah Allah dengan sebenar-benarnya, karena mengikhlaskan amalan mereka hanya kepada Allah dalam keadaan mencontoh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Mereka tidak beramal untuk manusia karena mereka sangat mengetahui bahwa pujian manusia sama sekali tidak bisa mendatangkan manfaat, akan tetapi mereka mengikhlaskan ibadah mereka secara zhohir dan batin serta mereka jujur dalam mengikuti Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam secara zhohir dan batin. 1. Orang yang kehilangan dua syarat ini dalam amalannya. Ini adalah keadaan kebanyakan orang-orang yang senang berbuat kerusakan dan para zindiq (orang kafir yang pura-pura masuk Islam untuk menghancurkannya dari dalam) yang mereka ini dalam beramal suatu amalan tidak memeperdulikan keikhlasan di dalamnya dan tidak perduli walaupun menyelisihi sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. 1. Orang yang beramal dengan ikhlas tapi tanpa ittiba’. Ini kebanyakannya terjadi pada orang-orang sufi dan paar ahli ibadah yang bodoh tentang syari’at, yang tahunya hanya beribadah dan tidak pernah menuntut ilmu. Mereka melakukan bid’ah dalam ucapan-ucapan dan amalan-amalan mereka dengan maksud bertakarrub kepada Allah akan tetapi hakikatnya perbuatan mereka tidak menambah kecuali semakin jauh dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. 1. Sebaliknya, orang yang memiliki ittiba’ dalam amalannya tapi meninggalkan keikhlasan, seperti keadaan orang-orang munafik, orang-orang yang senang riya’ dan sum’ah. Mereka ini adalah orang yang amalan mereka tidak memberikan manfaat apapun kepada mereka. -selesai dari Madarijus Salikin. Bila ada yang bertanya, ”Apa ukuran yang menunjukkan bahwa kita telah mewujudkan ittiba’ kepada Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam?”. Maka kita katakan bahwa tidak akan terwujud ittiba’ sampai ibadah yang dilakukan sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam 6 perkara : 1. Sebab Pelaksaannya. Maka siapa saja yang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah tapi dia melakukan ibadah tersebut dengan sebab yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- tidak pernah menjadikannya sebagai sebab disyari’atkannya ibadah itu maka ibadahnya tidak akan diterima Allah -’Azza wa Jalla-. Contoh: Seseorang yang merayakan maulid Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dengan alasan sebagai bentuk kecintaan dan mengirimkan sholawat kepada beliau. Maka kita katakan bahwa ini bukanlah ittiba’ karena walaupun mencintai Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan mengirimkan sholawat kepada beliau adalah ibadah akan tetapi orang ini menjadikan perayaan maulid sebagai sebab dia melaksanakan ibadah-ibadah di atas, padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan RasulNya tidak pernah menjadikan maulid ini sebagai sebab/wasilah untuk mencintai dan bersholawat kepada beliau. 1. Jenisnya. Misalnya dalam udhhiyah (hewan kurban), syari’at telah menentukan jenisnya yaitu harus dari jenis bahimatul an’am (onta, sapi, domba dan kambing). Bila ada seseorang yang berkata bahwa kambing harganya hanya sekitar Rp. 400.000,- maka saya akan menyembelih kuda yang harganya jelah lebih mahal dari kambing. Maka kita katakan bahwa ini tidaklah benar karena kuda bukan termasuk jenis yang ditentukan oleh syari’at sehingga sembelihan-mu tidak dianngap sebagai udhhiyah. 1. Ukurannya. Contohnya jelas, misalnya ada seseorang yang shalat zhuhur 6 raka’at atau berwudhu dengan 4 kali cucian dengan sengaja dan tanpa udzur yang membolehkan, maka sholat zhuhurnya serta cucian keempatnya tidak diterima karena menyelisihi syari’at. 1. Sifatnya. Misalnya ada orang yang wudhu lalu mendahulukan mencuci kaki sebelum mencuci wajah atau seseorang yang shalat dan memulainya dengan sujud, maka kedua ibadah seperti ini tidak akan diterima. 1. Waktu Pelaksanaannya. Bila ada orang yang menyembelih udhhiyahnya sebelum shalat ’Iedul Adhha maka tidak teranggap udhhiyah karena pensyari’atan sebenarnya adalah setelah shalat dan bukan sebelumnya. 1. Tempat Pelaksanaannya. Misalnya ada orang yang beri’tikaf di kamar rumahnya atau pergi melakukan thawaf kepada Allah di kuburan. Kedua ibadah ini tidak akan diterima karena i’tikaf, tempat disyari’atkannya adalah di masjid sedangkan thawaf hanya diperbolehkan di Ka’bah bahkan perbuatan kedua ini bisa masuk ke dalam kategori syirik kecil karena merupakan wasilah/pengantar kepada syirik besar. Wallahu Ta’ala A’lam, wa fauqo kulli dzi ’ilmin ’alim {Lihat : Al-Hatsts ’ala Ittiba’is Sunnah (hal. 26-27 dan hal. 48-50}, Al-Qaulul Mufid fii Adilatit Tauhid (hal. 39-40) dan Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ’Utsaimin (7/332-336)) Catatan kaki : [5] Kata ”dia” bisa kembali kepada pelakunya dan bisa kembali kepada amalannya, wallahu a’lam. Lihat Fathul Majid hal. 447 [6] Yakni sekedar sembelihan biasa yang dagingnyauntuk dimakan dan tidak teranggap udhhiyah (hewan kurban) Dikutip dari : Jurnal Islamy Al-Atsariyyah volume 03 Th.I/1427 H./2006 M. halaman 12-20 dengan beberapa perubahan yang –Insya Allah- tidak mengurangi kandungan isinya. Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: 2010