Senin, 20 September 2010
بسم الله الرحمن الرحيم
Syarat Diterimanya Amal
Jurnal Islamy Al-Atsariyyah
Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin –semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan kepada kalian untuk berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-sunnah-, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menerima suatu amalan apapun dan dari siapapun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat mendasar dan prinsipil, yaitu :
1. Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah, sehingga pelaku amalan tersebut sama sekali tidak mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali wajah Allah Ta’ala.
2. Kaifiat pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Dalil dari kedua syarat ini disebutkan oleh Allah –Subhanahu wa Ta’ala- di beberapa tempat dalam Al-Qur’an, di antaranya :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“ Yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji kalian, siapa dianatra kalian yang paling baik amalannya “. (QS. Al-Mulk : 2)
Al-Fudhoil bin ‘Iyadh Rahimahullah berkata –sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah rahimahullah (18/250)- menafsirkan firman Allah “siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”, “(Yaitu) Yang paling ikhlasnya dan yang paling benarnya. Karena sesungguhnya amalan, jika ada keikhlasan akan tetapi belum benar maka tidak akan diterima, dan jika amalan itu benar akan tetapi tanpa keikhlasan maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah yang hanya untuk Allah dan yang benar adalah yang berada di atas sunnah ( Rasulullah)”.
Dan juga firman Allah –Ta’ala-:
“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amalan yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi: 110)
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “’Maka hendaknya ia mengerjakan amala yang shaleh’, yaitu apa-apa yang sesuai dengan syari’at Allah, ‘dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya’ yaitu yang hanya diinginkan dengannya wajah Allah tanpa ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua rukun dari amalan yang diterima, harus ikhlas hanya kepada Allah dan benar di atas syari’at Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam”.
Syarat Pertama : Pemurnian Keikhlasan Hanya Kepada Allah.
Ini adalah konsekuensi dari syahadat pertama yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah –Subhanahu wa Ta’ala-.
Allah –Subhanahu wa Ta’ala- berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (2) أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
”Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al quran) dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)”. (QS. Az-Zumar: 2-3)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
”Katakanlah: ”Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. (QS. Az-Zumar : 11)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
”Katakanlah : hanya Allah saja Yang aku sembah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku” ( Az-Zumar : 14)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”. (QS. Al-bayyinah : 5)
Dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga telah menegaskan dalam sabda beliau :
”Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ’umar bin Khaththab radhiallahu ’anhu)
Keikhlasan yang diinginkan disini adalah mencakup dua perkara :
1. Lepas dari syirik ashghar (kecil) berupa riya’ (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar), keinginan mendapatkan balasan duniawi dari amalannya dan yang semisalnya dari bentuk-bentuk kitidakikhlasan, karena semua niat-niat diatas menyebabkan amalan yang sedang dikerjakan sia-sia, tidak ada artinya dan tidak akan diterima oleh Allah –Subhanahu wa Ta’ala-.
Allah –Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsy-:
”Siapa saja yang beramal dengan suatu amalan apapun yang dia memperserikatkan Saya bersama selain Saya dalam amalan tersebut maka akan saya tinggalkan dia5 dan siapa yang dia perserikatkan bersama Saya”. (HSR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ’anhu)
Dan Allah -Subhanahu wa Ta’ala- juga telah menegaskan :
”Barangsiapa yang menghendaki (dengan ibadahnya) kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan’. (QS. Hud : 15-16)
1. Lepas dari syirik akbar (besar), yaitu menjadikan sebahagian dari atau seluruh ibadah yang sedang dia amalkan untuk selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Perkara kedua ini jauh lebih berbahaya, karena tidak hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan sia-sia dan tidak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala ibadah yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman mengancam Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan seluruh Nabi sebelum beliau :
”Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-nabi) yang sebelummu : ”Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az-Zumar : 65)
Dan semakna dengannya firman Allah –’Azza wa Jalla- :
”Seandainya mereka (para Nabi dan Rasul) mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-An’am : 88)
Syarat Kedua : Pemurnian Ittiba’ (pengikutan) Kepada Ar-Rasul Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Ini adalah konsekuensi syahadat yang kedua yaitu persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah -Subhanahu wa Ta’ala- kepada para hamba agar mengajari mereka cara menyembah kepada-Nya. Dan ini juga merupakan salah satu rukun dari syahadat yang kedua ini, yaitu tidak menyembah Allah -’Azza wa Jalla- kecuali dengan apa yang beliau (Rasulullah) syari’atkan.
Maka Allah -Subhanahu wa Ta’ala- tidaklah boleh disembah dengan bid’ah, tidak pula dengan hawa nafsu, adat istiadat, kebiasaan, perasaan atau anggapan-anggapan yang ia pandang baik karena sesungguhnya asal dari ibadah itu adalah syari’at, maka nanti dikatakan ibadah kalau disyari’atkan.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menegaskan :
”Katakanlah : ”Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian,” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali ’Imran:31)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, ”Ayat yang mulia ini adalah hakim atas semua orang yang mengaku mencintai Allah akan tetapi dia tidak di atas jalan Nabi Muhammad. Karena sesungguhnya dia dusta dalam pengakuannya tersebut, sampai dia mengikuti syari’at kenabian pada seluruh ucapan dan perbuatannya.”
Dan Allah -’Azza wa Jalla- berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 3 :
”Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku cukupkan pada kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian”.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, ”Ini adalah nikmat terbesar dari seluruh nikmat Allah Ta’ala atas ummat ini yaitu Allah Ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka –shalawat dan salam Allah atas beliau-. Oleh karena itulah Allah Ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi, mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin, maka tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan dan tidak ada agama kecuali apa yang beliau syari’atkan…”.
Maka siapa saja yang beramal dengan suatu ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam maka amalan tersebut tertolak dan sia-sia di sisi Allah -’Azza wa Jalla-. Allah -’Azza wa Jalla- berfirman :
”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amala itu (bagaikan) debu yang beterbangan”. (QS Al Furqan : 23)
Dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda :
”Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ’A’isyah Radhiallahu ’anha). Dan dalam lafadz Imam Muslim, ”Siapa saja yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya maka amalan itu tertolak”.
Dan termasuk dalil yang menunjukkan akan syarat kedua ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Muslim Rahimahullahu dari sahabat Al-Barro’ bin ’Azib Radhiallahu ’anhu, bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda dalam khutbah ’Iedul Adhha :
… ومن نسك قبل الصلاة، فإنه قبل الصلاة ولا نسك له. فقال أبو بردة بن نيار، خال البراء: يا رسول الله، فإني نسكت شاتي قبل الصلاة، وعرفت أن اليوم يوم أكل وشرب، وأحببت أن تكون شاتي أول ما يذبح في بيتي، فذبحت شاتي وتغذيت قبل أن آتي الصلاة، قال: شاتك شاة لحم
”… dan barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (’Iedul Adhha) maka dia teranggap sebelum shalat maka tidak ada sembelihan baginya (yakni tidak syah). Maka Abu Burdah bin Niyar paman dari Al-Barro’ berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah menyembelih kambingku sebelum shalat karena saya mengetahui bahwa hari ini adalah hari makan dan minum dan saya senang kalau kambingku adalah hewan pertama yang disembelih di rumahku maka sayapun menyembelih kambingku dan saya sarapan dengannya sebelum mendatangi shalat ”. Maka beliau bersabda, ”Kambingmu adalah kambing daging6””.
Berkata Al-Hafizh dalam Fathul Bary (10/17), ”Berkata Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah, ”Dan di dalam hadits ini terdapat (faidah) bahwa suatu amalan, walaupun bersesuaian dengan niat yang baik (tetap) tidak diterima kecuali jika dilaksanakan sesuai dengan syari’at””.
Dan juga hal ini nampak dari kisah Ibnu Mas’ud Radhiallahu ’anhu yang masyhur bersama para pelaku dzikir jama’iy. ’Amr bin Salamah Ibnul Harits rahimahullah bercerita :
كنا نجلس على باب عبد الله بن مسعود قبل صلاة
الغداة , فإذا خرج مشينا معه إلى المسجد , فجاءنا أبو موسى الأشعري , فقال :
أخرج إليكم أبو عبد الرحمن بعد ? قلنا : لا , فجلس معنا حتى خرج , فلما خرج
قمنا إليه جميعا , فقال له أبو موسى : يا أبا عبد الرحمن ! إنى رأيت في المسجد
آنفا أمرا أنكرته , و لم أر و الحمد لله إلا خيرا , قال : فما هو ? فقال : إن
عشت فستراه , قال : رأيت في المسجد قوما حلقا جلوسا , ينتظرون الصلاة , في كل
حلقة رجل , و في أيديهم حصى , فيقول : كبروا مائة , فيكبرون مائة , فيقول هللوا
مائة , فيهللون مائة , و يقول سبحوا مائة , فيسبحون مائة , قال : فماذا قلت لهم
? قال : ما قلت لهم شيئا انتظار رأيك , قال : أفلا أمرتهم أن يعدوا سيئاتهم ,
و ضمنت لهم أن لا يضيع من حسناتهم شيء ? ثم مضى و مضينا معه , حتى أتى حلقة من
تلك الحلق , فوقف عليهم , فقال : ما هذا الذي أراكم تصنعون ? قالوا : يا أبا
عبد الرحمن ! حصى نعد به التكبير و التهليل و التسبيح , قال : فعدوا سيئاتكم
فأنا ضامن أن لا يضيع من حسناتكم شيء , و يحكم يا أمة محمد ! ما أسرع هلكتكم !
هؤلاء صحابة نبيكم صلى الله عليه وسلم متوافرون , و هذه ثيابه لم تبل , و آنيته
لم تكسر , والذي نفسي بيده إنكم لعلى ملة هي أهدى من ملة محمد , أو مفتتحوا باب
ضلالة ? ! قالوا والله : يا أبا عبد الرحمن ! ما أردنا إلا الخير , قال :
و كم من مريد للخير لن يصيبه , إن رسول الله صلى الله عليه وسلم حدثنا : ( فذكر
الحديث ) , وايم الله ما أدري لعل أكثرهم منكم ! ثم تولى عنهم , فقال عمرو بن
سلمة : فرأينا عامة أولئك الحلق يطاعنونا يوم النهروان مع الخوارج ” .
”Kami pernah duduk-duduk di depan pintu rumah ’Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat shubuh maka jika beliau keluar, kami akan berjalan bersamanya ke masjid. Maka Abu Musa Al-Asy’ary mendatangi kami lalu berkata, ”Apakah Abu ’Abdirrahman (kunyah dari Ibnu Mas’ud) sudah keluar kepada kalian?”, kami berkata, ”Belum”, maka diapun duduk bersama kami sampai beliau keluar. Tatkala beliau keluar, kami semuanya berdiri menuju kepadanya, lalu Abu Musa berkata kepadanya, ”Wahai Abu ’Abdirrahman, sesungguhnya baru saja saya melihat di masjid suatu perkara yang saya ingkari dan saya tidak berprasangka –alhamdulillah- kecuali kebaikan”, beliau berkata, ”Apa perkara itu?”, dia menjawab, ”Kalau engkau masih hidup maka engkau akan melihatnya, saya melihat di masjid ada sekelompok orang duduk-duduk dalam beberapa halaqah (majelis) sambil menunggu shalat, di setiap halaqah ada seorang lelaki (yang memimpin) –ada di tangan-tangan mereka ada batu-batu kecil-, lalu orang (pemimpin) itu berkata, ”Bertakbirlah kalian sebanyak 100 kali”, maka merekapun bertakbir 100 kali, lalu orang itu berkata lagi, ”Bertahlillah kalian senbanyak 100 kali”, maka merekapun bertahlil 100 kali, orang itu berkata lagi, ”Bertasbihlah kalian sebanyak 100 kali”, maka merekapun bertasbih 100 kali. Beliau berkata, ”Apa yang engkau katakan kepada mereka?”, dia (Abu Musa) menjawab, ”Saya tidak mengatakan sesuatu apapun kepada mereka karena menunggu pendapat dan perintahmu”. Maka beliau berkata, ”Tidaklah engkau perintahkan kepada mereka agar mereka menghitung kejelekan-kejelekan mereka dan kamu jaminkan kepada mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan ada yang sia-sia?!”, Kemudian beliau pergi dan kami pergi bersamanya sampai beliau mendatangi salah satu halaqoh dari halaqoh-halaqoh tadi lalu berdiri di depan mereka dan berkata, ”Perbuatan apa ini yang saya melihat kalian melakukannya?!”, mereka menjawab, ”Wahai Abu ’Abdirrahman, ini adalah kerikil-kerikil yang kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih dengannya”, maka beliau berkata, ”Maka hitunglah kejelekan-kejelekan kalian dan saya jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan sia-sia, betapa kasihannya kalian wahai ummat Muhammad, begitu cepatnya kehancuran kalian, ini mereka para sahabat Nabi kalian Shollallahu ‘alaihi wasallam masih banyak bertebaran, ini pakaian beliau (Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam) belum lagi usang dan bejana-bejana beliau belum lagi pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kalian betul-betul berada di atas suatu agama yang lebih berpetunjuk daripada agama Muhammad atau kalian sedang membuka pintu kesesatan?!”, mereka berkata , ”Wahai Abu ’Abdirrahman, demi Allah kami tidak menginginkan kecuali kebaikan”, maka beliau berkata, ”Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi dia tidak mendapatkannya, sesungguhnya Rasulullah menceritakan kepada kami tentang suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur’an akan tetapi (bacaan mereka) tidak melewati tenggorokan mereka, demi Allah, saya tidak tahu barangkali kebanyakan mereka adalah dari kalian kemudian beliau meninggalkan mereka”. Maka Amr bin Salamah berkata , ”Kami melihat kebanyakan orang-orang di halaqoh itu adalah yang menyerang kami bersama khawarij pada perang Nahrawan”. (HR. Ad-Darimy dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 2005)
Maka perhatikanlah kisah ini baik-baik –Semoga Allah merahmatimu- niscaya engkau akan mendapatkan suatu harta yang lebih berharga daripada dunia dan seisinya, bagaimana sahabat Ibnu Mas’ud Radhiallahu ’anhu menghukumi perbuatan mereka sebagai bid’ah dan kesesatan tanpa memandang sedikitpun kepada jenis amalan yang mereka perbuat dan tidak pula memandang sedikitpun kepada maksud dan niat mereka melakukannya, karena sekali lagi suatu perbuatan yang walaupun asalnya adalah ibadah dan walaupun dikerjakan dengan niat-niat yang baik dan penuh keikhlasan akan tetapi bila pelaksanaannya tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam maka semuanya tetap tertolak dan dianggap sebagai suatu kesesatan, maka bagaimana lagi amalan bid’ah itu asalnya memang bukan merupakan ibadah dan tidak dikerjakan dengan keikhlasan?!.
Al-Imam Ibnul Qoyyim dalam Madarijus Salikin (1/95-97) telah membagi manusia berdasarkan dua syarat ini menjadin empat golongan yang kesimpulannya sebagai berikut :
1. Siapa yang dalam amalannya terkumpul kedua syarat di atas. Mereka adalah orang-orang yang menyembah Allah dengan sebenar-benarnya, karena mengikhlaskan amalan mereka hanya kepada Allah dalam keadaan mencontoh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Mereka tidak beramal untuk manusia karena mereka sangat mengetahui bahwa pujian manusia sama sekali tidak bisa mendatangkan manfaat, akan tetapi mereka mengikhlaskan ibadah mereka secara zhohir dan batin serta mereka jujur dalam mengikuti Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam secara zhohir dan batin.
1. Orang yang kehilangan dua syarat ini dalam amalannya. Ini adalah keadaan kebanyakan orang-orang yang senang berbuat kerusakan dan para zindiq (orang kafir yang pura-pura masuk Islam untuk menghancurkannya dari dalam) yang mereka ini dalam beramal suatu amalan tidak memeperdulikan keikhlasan di dalamnya dan tidak perduli walaupun menyelisihi sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
1. Orang yang beramal dengan ikhlas tapi tanpa ittiba’. Ini kebanyakannya terjadi pada orang-orang sufi dan paar ahli ibadah yang bodoh tentang syari’at, yang tahunya hanya beribadah dan tidak pernah menuntut ilmu. Mereka melakukan bid’ah dalam ucapan-ucapan dan amalan-amalan mereka dengan maksud bertakarrub kepada Allah akan tetapi hakikatnya perbuatan mereka tidak menambah kecuali semakin jauh dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
1. Sebaliknya, orang yang memiliki ittiba’ dalam amalannya tapi meninggalkan keikhlasan, seperti keadaan orang-orang munafik, orang-orang yang senang riya’ dan sum’ah. Mereka ini adalah orang yang amalan mereka tidak memberikan manfaat apapun kepada mereka.
-selesai dari Madarijus Salikin.
Bila ada yang bertanya, ”Apa ukuran yang menunjukkan bahwa kita telah mewujudkan ittiba’ kepada Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam?”.
Maka kita katakan bahwa tidak akan terwujud ittiba’ sampai ibadah yang dilakukan sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam 6 perkara :
1. Sebab Pelaksaannya.
Maka siapa saja yang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah tapi dia melakukan ibadah tersebut dengan sebab yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- tidak pernah menjadikannya sebagai sebab disyari’atkannya ibadah itu maka ibadahnya tidak akan diterima Allah -’Azza wa Jalla-.
Contoh: Seseorang yang merayakan maulid Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dengan alasan sebagai bentuk kecintaan dan mengirimkan sholawat kepada beliau. Maka kita katakan bahwa ini bukanlah ittiba’ karena walaupun mencintai Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan mengirimkan sholawat kepada beliau adalah ibadah akan tetapi orang ini menjadikan perayaan maulid sebagai sebab dia melaksanakan ibadah-ibadah di atas, padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan RasulNya tidak pernah menjadikan maulid ini sebagai sebab/wasilah untuk mencintai dan bersholawat kepada beliau.
1. Jenisnya.
Misalnya dalam udhhiyah (hewan kurban), syari’at telah menentukan jenisnya yaitu harus dari jenis bahimatul an’am (onta, sapi, domba dan kambing). Bila ada seseorang yang berkata bahwa kambing harganya hanya sekitar Rp. 400.000,- maka saya akan menyembelih kuda yang harganya jelah lebih mahal dari kambing. Maka kita katakan bahwa ini tidaklah benar karena kuda bukan termasuk jenis yang ditentukan oleh syari’at sehingga sembelihan-mu tidak dianngap sebagai udhhiyah.
1. Ukurannya.
Contohnya jelas, misalnya ada seseorang yang shalat zhuhur 6 raka’at atau berwudhu dengan 4 kali cucian dengan sengaja dan tanpa udzur yang membolehkan, maka sholat zhuhurnya serta cucian keempatnya tidak diterima karena menyelisihi syari’at.
1. Sifatnya.
Misalnya ada orang yang wudhu lalu mendahulukan mencuci kaki sebelum mencuci wajah atau seseorang yang shalat dan memulainya dengan sujud, maka kedua ibadah seperti ini tidak akan diterima.
1. Waktu Pelaksanaannya.
Bila ada orang yang menyembelih udhhiyahnya sebelum shalat ’Iedul Adhha maka tidak teranggap udhhiyah karena pensyari’atan sebenarnya adalah setelah shalat dan bukan sebelumnya.
1. Tempat Pelaksanaannya.
Misalnya ada orang yang beri’tikaf di kamar rumahnya atau pergi melakukan thawaf kepada Allah di kuburan. Kedua ibadah ini tidak akan diterima karena i’tikaf, tempat disyari’atkannya adalah di masjid sedangkan thawaf hanya diperbolehkan di Ka’bah bahkan perbuatan kedua ini bisa masuk ke dalam kategori syirik kecil karena merupakan wasilah/pengantar kepada syirik besar.
Wallahu Ta’ala A’lam, wa fauqo kulli dzi ’ilmin ’alim
{Lihat : Al-Hatsts ’ala Ittiba’is Sunnah (hal. 26-27 dan hal. 48-50}, Al-Qaulul Mufid fii Adilatit Tauhid (hal. 39-40) dan Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ’Utsaimin (7/332-336))
Catatan kaki :
[5] Kata ”dia” bisa kembali kepada pelakunya dan bisa kembali kepada amalannya, wallahu a’lam. Lihat Fathul Majid hal. 447
[6] Yakni sekedar sembelihan biasa yang dagingnyauntuk dimakan dan tidak teranggap udhhiyah (hewan kurban)
Dikutip dari : Jurnal Islamy Al-Atsariyyah volume 03 Th.I/1427 H./2006 M. halaman 12-20 dengan beberapa perubahan yang –Insya Allah- tidak mengurangi kandungan isinya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar