Tetesan air mata yang keluar dari mataku karena takut kepada Allah lebih aku sukai daripada aku bersedekah seribu dinar ('Amr bin al 'Ash)

Selasa, 24 Agustus 2010

HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?

HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ? Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah ditanya : Hukum mengeluarkan zakat fithri dalam bentuk uang karena ada orang yang memperbolehkan hal tersebut? Jawaban Tidaklah asing bagi seorang muslim manapun bahwa rukun Islam yang paling penting adalah persaksian (Syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah.Konsekwensi syahadat La Ilaha Ilallah adalah tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah saja, sedangkan konsekwensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah tidak menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang telah disyari’atkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Zakat fithri adalah ibadah menurut ijma kaum muslimin, dan semua ibadah pada dasarnya tauqifi (mengikuti dalil atau petunjuk). Maka tidak boleh lagi seorang hamba untuk beribadah kepada Allah dengan satu ibadahpun kecuali dengan cara yang diambil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasul yang telah Allah firmankan tentangnya. “Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) ” [An-Najm : 3-4] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Barangsiapa membuat cara yang baru dalam perkara agama ini apa yang tidak termasuk agama ini maka hal itu tertolak”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyari’atkan zakat fithri dengan hadits yang shahih : Satu sha’ makanan atau anggur kering atau keju. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhu, dia berkata : “Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri dengan satu sha’ kurma, atau gandum atas setiap orang muslimin yang merdeka ataupun budak baik laki mupun perempuan kecil ataupun besar” Dan Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan supaya zakat itu dilaksanakan sebelum orang keluar untuk melakasanakan shalat Idul Fitri.Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radhiallahu ‘anhu, dia berkata. “Artinya : Kami memberikan zakat fitrah itu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu sha makanan, atau satu sha’ kurma atau gandum atau anggur kering” dalam satu riwayat “satu sha’ keju” Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam zakat fithri. Dan sudah diketahui bersama bahwa pensyari’atan dan pengeluaran zakat ini ditetapkan, di tengah kaum muslimin terutama penduduk Madinah sudah ada Dinar dan Dirham, dua mata uang yang utama kala itu namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan keduanya dalam zakat fithri. Kalau seandainya salah satu dari keduanya boleh dipakai dalam zakat fithri tentu hal itu sudah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tidak boleh menunda-nunda keterangan pada saat dibutuhkan. Dan kalaulah hal itu pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu telah dikerjakan oleh para sahabat Radhiallahu ‘anhum. Kami belum pernah mengetahui ada seorang sahabat Nabi-pun yang menyerahkan uang dalam zakat fithri padahal mereka adalah orang-orang yang paling paham terhadap sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka orang-orang yang paling keras keinginannya dalam melaksanakan sunnah tersebut. Dan jika mereka pernah melakukannya, tentu hal itu sudah di nukil periwayatannya sebagaimana perkataan serta perbuatan mereka lainnya yang berkaitan dengan perkara-perkara syar’i juga telah dinukil periwayatannya. Allah berfirman.”Artinya : Sungguh terdapat contoh yang baik buat kalian pada diri Rasulullah” [Al-Ahzab : 21] Dan firman-Nya.”Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [At-Taubah : 100] Dari penjelasan kami ini akan menjadi jelas bagi pencari kebenaran, bahwa menyerahkan uang dalam zakat fithri tidak boleh dan tidak sah bagi si pengeluar zakat karena hal tersebut menyelisihi dalil-dalil syar’i yang telah disebutkan.Saya memohon kepada Allah agar Dia memberikan taufiq kepada kami dan semua kaum muslimin untuk faham terhadap agama dan istiqamah berada di atasnya serta menjauhi semua yang menyelisihi syariat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Dermawan dan Mulia.Washallahu ‘ Ala Nabiyina Muhammadin wa’ala alihi wa shahbihi. BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ? Oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah Pertanyaan Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah ditanya : “Bolehkah menyerahkan uang dalam zakat fithri, karena terkadang uang tersebut lebih bermanfaat bagi orang-orang yang miskin?” Jawaban Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwasanya boleh mengeluarkan uang. Dan yang benar adalah tidak boleh, yang dikeluarkan harus makanan. Uang pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada, namun belum ada yang meriwayatkan bahwa beliau menyuruh para sahabat untuk mengerluarkan uang [Demikian beberapa nukilan fatwa Ulama yang kami ketengahkan dengan terjemahan bebas. fatwa-fatwa ini kami nukilkan dari Fatawa Ramadhan halaman 918 - 927] Catatan : Satu Sha’ sama dengan kira-kira 2.5 kg Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: Agustus 2010

Selasa, 17 Agustus 2010

Carilah Bekal Akhiratmu di Bulan yang penuh Berkah!

Dikirim oleh webmaster, Senin 09 Agustus 2010, kategori Aqidah Penulis: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 33/VIII/1431 .: :. Carilah Bekal Akhiratmu di Bulan yang penuh Berkah! Para pembaca rahimakumullah, semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala memudahkan kita semua dalam melaksanakan semua perintah-perintah-Nya, termasuk dalam menunaikan ibadah puasa Ramadhan tahun ini. Bulan Ramadhan adalah suatu kesempatan emas bagi kaum muslimin untuk meraih berbagai pahala, karena di bulan Ramadhan banyak ibadah yang bisa dilaksanakan disamping ibadah puasa itu sendiri. Di sisi lain, di bulan Ramadhan kaum muslimin diberi kemudahan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala untuk melaksanakan berbagai ibadah, karena para setan pada bulan ini dibelenggu, terkhusus setan yang sangat durhaka. Sehingga nampak semarak berbagai kebaikan, dan sebaliknya kejelekan berkurang. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila Ramadhan telah tiba, maka dibukalah pintu-pintu Al Jannah (surga), dan ditutup pintu-pintu An Nar (neraka), serta para setan dibelenggu.” (HR. Muslim) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “Telah datang kepada kalian Ramadhan yaitu bulan yang diberkahi, pada bulan tersebut Allah mewajibkan atas kalian puasa, pada bulan tersebut dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka Jahannam serta dibelenggu para setan yang durhaka, di bulan itu juga Allah mempunyai satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa tidak mendapatkan kebaikannya maka telah diharamkan (kebaikan baginya).” (HR. An Nasa’i) Amalan-amalan ibadah di bulan Ramadhan Banyak ibadah yang diperintahkan atau dianjurkan untuk dilaksanakan di bulan Ramadhan. Di antara ibadah-ibadah tersebut adalah: 1. Shaum (puasa) Puasa adalah salah satu rukun dari rukun-rukun Islam. Sehingga tidak sepatutnya seorang muslim melalaikan apalagi meninggalkannya. Puasa juga mengandung sekian keutamaan bagi siapa yang melaksanakannya dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Dia juga memperhatikan syarat-syarat dan adab-adabnya. Di antara keutamaan puasa adalah: 1. Sebagai sebab diampuninya dosa yang telah lalu Hal ini sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala hanya dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al Bukhari dan Muslim) 2. Shaum (puasa) membentengi pelakunya dari An Nar (Neraka) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Shiyam (puasa) sebagai benteng, dengannya seorang hamba dapat membentengi dirinya dari An Nar (neraka). Dia (puasa itu) untukku dan Aku yang akan membalasnya.” (HR. Ahmad no. 14727) 3. Shaum mengantarkan (pelakunya) ke dalam Al Jannah (Surga) Shahabat Abu Umamah radliyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dengan amalan tersebut aku bisa masuk Al Jannah (surga)!” Beliau ` bersabda: “Wajib bagimu untuk berpuasa, (karena) tidak ada yang sebanding dengannya.” (HR. An Nasa`i, Ibnu Hibban dan Al Hakim) 4. Orang yang berpuasa akan mendapatkan pahala dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala tanpa hisab (perhitungan) 5. Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu bahagia ketika berbuka dan ketika bertemu Allah diakhirat. 6. Bau mulut orang yang berpuasa lebih baik bagi Allah Subhanallahu wa Ta’ala daripada aroma misik (kesturi) Hal tersebut di atas sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Setiap amalan Bani Adam dilipatgandakan. Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali kebaikan sampai dengan tujuh ratus kali lipat. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman: “Kecuali shaum (puasa). Maka sesungguhnya ia (puasa) untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya; dia (hamba) meninggalkan syahwat dan makannya karena Aku. Dan bagi orang yang puasa ada dua kebahagiaan yaitu ketika berbuka dan bertemu Rabbnya. Dan sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih baik di sisi Allah daripada aroma misik.” (HR. Muslim no. 1945) 7. Shaum (puasa) dan Al Qur’an memberi syafa’at (dengan izin Allah) bagi pelakunya Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Shiyam (puasa) dan Al Qur`an keduanya memberi syafa’at bagi hamba pada hari kiamat. Shaum berkata: “Wahai Rabbku aku telah mencegahnya dari makan dan syahwat di siang hari, maka izinkanlah aku memberi syafa’at padanya.’ Dan Al Qur`an berkata: “Aku telah mencegahnya dari tidur di waktu malam, maka izinkanlah aku memberi syafa’at padanya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melanjutkan: “Maka keduanya (shaum dan Al Qur`an) diizinkan untuk memberi syafa’at.” (HR. Ahmad no. 6337) 8. Pintu Al Jannah (surga) “Ar Rayyan” dikhususkan bagi orang-orang yang berpuasa. Termasuk salah satu keutamaan shaum (puasa) Ramadhan, Allah Subhanallahu wa Ta’ala jadikan bagi mereka yang berpuasa pintu khusus untuk mereka di Al Jannah (surga) yang diberi nama Ar Rayyan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Sahl bin Sa’d radliyallahu ‘anhu, beliau ` bersabda: “Sesungguhnya di Al Jannah (surga) ada sebuah pintu yang disebut Ar Rayyan. Pada hari kiamat kelak orang-orang yang berpuasa akan memasuki Al Jannah melalui pintu ini. Tidak seorang pun selain mereka masuk melalui pintu ini. Dikatakan (kepada mereka): ‘Di mana orang-orang yang berpuasa?’, maka mereka bangkit (dan masuk). Tidak seorang pun selain mereka masuk melalui pintu ini. Ketika mereka telah memasukinya, ditutuplah pintu tersebut, maka tidak seorang pun bisa memasukinya.” (HR. Al Bukhari no. 1763 dan Muslim no. 1947) Dalam riwayat yang lain: “Maka apabila telah masuk orang terakhir dari mereka, ditutuplah pintu tersebut. Dan barangsiapa yang masuk dia akan minum dan barangsiapa minum, maka tidak akan pernah haus selamanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1903) 2. Shalat Tarawih Di antara ibadah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan, terkhusus di bulan Ramadhan, adalah shalat tarawih. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menegakkan shalat (Tarawih) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala hanya dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al Bukhari dan Muslim) Dan yang lebih utama, shalat tarawih dilaksanakan secara berjamaah menurut mayoritas ulama, seperti Al Imam Asy Syafi’i, Al Imam Abu Hanifah, Al Imam Ahmad, sebagian ulama Malikiyah, dan yang lainnya. (Lihat Syarah Shahih Muslim). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa mendirikan shalat bersama imam (secara berjamaah) hingga selesai ditulis baginya seperti shalat semalam suntuk.” (HR. At Tirmidzi) 3. Qira’atul Qur’an (membaca Al Qur’an) Hendaknya orang yang sedang menunaikan ibadah puasa menyibukkan dirinya dengan ibadah-ibadah yang lainnya, seperti dzikir, qira’atul Qur’an, shadaqah, dan berbuat baik kepada orang lain. Demikianlah yang dicontohkan oleh junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bersemangat terhadap kebaikan. Dan (beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam) lebih bersemangat (dibanding biasanya-pen) ketika Malaikat Jibril ‘alaihissalam datang menemuinya di bulan Ramadhan. Dan Malaikat Jibril ‘alaihissalam biasa menemui beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam di setiap malam selama bulan Ramadhan hingga akhir bulan. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam membacakan kepadanya Al Qur`an. Maka ketika Jibril ‘alaihissalam menemuinya, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lebih bersemangat terhadap kebaikan (lebih kencang) daripada angin yang berhembus.” (HR. Al Bukhari no. 1769) Bulan Ramadhan disebut juga Syahrul Qur’an (bulan Al Qur’an), karena di bulan tersebut Al Qur’an diturunkan. Maka perbanyaklah membaca Al Qur’an sambil merenungi kandungannya, serta tanamkan di hati bahwa dirinya sedang membaca Kalamullah (firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala). 4. Memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa Kaum muslimin rahimakumullah, seorang muslim yang diberi keutamaan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala dari sisi rizki hendaknya memanfaatkan kesempatan yang baik ini untuk membantu saudaranya yang kekurangan, walaupun sekedar memberi makanan berbuka untuk mereka, karena keutamaan memberi makanan berbuka orang yang berpuasa sangat besar nilainya di sisi Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Barangsiapa memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka dia akan mendapat pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut.” (HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah) Akan tetapi bukan berarti dirinya tidak mengapa meninggalkan puasa (tidak berpuasa), cukup memberi makanan berbuka sudah mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa, maksudnya bukan demikian. Semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala menerima amalan-amalan kita dan mengampuni dosa-dosa kita semua. Amin Ya Mujibas Sailin. Wallahu A’lam Bishshawab (Sumber Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 33 / VIII / VIII / 1431, http://www.assalafy.org/mahad/?p=527) Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: Agustus 2010

Senin, 02 Agustus 2010

Mendidik dengan Keteladanan, juga dengan Cinta

Al Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin Sebagai agama yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, Islam telah mengatur pula masalah pendidikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi teladan, apa dan bagaimana memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak. Karenanya, adalah sebuah kemestian, seseorang yang menghendaki pendidikan anaknya membuahkan hasil terbaik untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21) Meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik Pendidikan yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan dilandasi hawa nafsu. Tidak pula lantaran menjiplak model-model pendidikan yang berkembang di masa itu. Tapi, apa yang diajarkan benar-benar karena didasari wahyu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4) Bagi seorang muslim wajib hukumnya meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk dalam masalah pendidikan. Islam tidak akan menolerir odel-model pendidikan yang meracuni anak didik dengan nilai-nilai kesyirikan, kekufuran, dan kerusakan akhlak. Di tengah dahsyatnya gempuran berbagai model pendidikan yang dijejalkan kepada kaum muslimin, keharusan untuk merujuk kepada apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu yang sangat urgen (penting). Maka, tiada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7) Tauhid menjadi awal dan dasar bagi pendidikan Bagaimana model pendidikan yang diterapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Yang utama sekali ditanamkan adalah menyangkut masalah tauhid, mengenyahkan kesyirikan. Ajari dan pahamkan anak dengan masalah tauhid. Lantaran misi menanamkan tauhid dan memberantas kesyirikan inilah para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala diutus kepada kaumnya. Nabi Nuh ‘alaihissalam diutus kepada kaumnya, misi utamanya adalah mendakwahkan dan mendidik kaumnya dengan tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59) Begitu pula yang diserukan para nabiyullah yang lainnya, seperti Nabi Hud ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum Tsamud, dan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam yang berdakwah kepada penduduk Madyan. Semuanya mendakwahkan satu seruan, yaitu: اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ “Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada ilah bagimu (yang berhak disembah) selain-Nya.” (Al-A’raf: 65, 78, 85) Semua menyerukan kalimat yang sama: tauhid. Semua memberikan pendidikan dan pengajaran kepada umatnya dengan kalimat yang satu, yaitu tauhid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan wejangan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, yang kala itu hendak diutus berdakwah ke Yaman, juga agar mendidik penduduk Yaman dengan tauhid. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal kala dia hendak diutus ke Yaman: إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَاْدعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ “Sesungguhnya engkau akan tiba pada suatu kaum dari ahli kitab. Maka jika engkau datang kepada mereka, dakwahilah kepada persaksian bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasulullah.” (HR. Al-Bukhari no. 4347) Diungkapkan Ibnul Qayyim rahimahullahu, anak-anak yang telah mencapai kemampuan berbicara, ajarilah mereka (dengan menalqinkan) kalimat La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Jadikanlah apa yang diperdengarkan kepada mereka adalah tentang pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala (ma’rifatullah) dan mentauhidkan-Nya. Didik juga anak-anak bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya. Allah Maha Melihat terhadap mereka dan Maha Mendengar terhadap apa yang mereka perbincangkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa bersama mereka, di mana saja mereka berada. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, hal. 389) Segaris dengan hal di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu pun menekankan pula, bahkan mewajibkan, untuk setiap muslim membekali diri dengan ilmu yang terkait dengan pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah, pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi perkara keberadaan-Nya, rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma wa shifat-Nya. (Ithaful ‘Uqul bi Syarhi Ats-Tsalatsatil Ushul, hal. 8) Kenalkanlah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada anak-anak semenjak dini. Kenalkan melalui metode yang bersifat praktis dan mudah dipahami anak-anak. Satu di antara metode itu adalah dengan tanya jawab (di atas). Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak wanita. Hadits dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, menceritakan metode dialog (tanya jawab) tersebut. قَالَ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ. قَالَ: أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Di (atas) langit.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman’.” (Sunan Abi Dawud no. 930, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu) Demikian metode dialog yang mengalir lancar, ringan, menyentuh tanpa beban. Dialog yang lugas, tegas, menikam tajam ke dalam pusat kesadaran. Menggugah keyakinan, menumbuhkan keimanan nan makin kokoh. Pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb bisa pula melalui metode pengenalan dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahwa apabila engkau ditanya, dengan apa engkau mengetahui Rabbmu. Maka jawablah: dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Dari adanya ayat-ayat-Nya yang berupa malam dan siang, matahari dan bulan, para makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di langit yang tujuh dan di bumi yang berlapis tujuh, serta makhluk-makhluk Allah yang berada di antara keduanya. (Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 22) Kata Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami rahimahullahu saat memberi penjelasan terhadap perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu di atas, “Mengapa dalil, tanda-tanda dan ayat-ayat (dijadikan dasar) engkau mengetahui Rabbmu? Karena, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala terhijab di dunia ini dan Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak bisa dilihat. Ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: فَإِنَّكُمْ لَنْ تَرَوْا رَبَّكُمْ حَتَّى تَمُوتُوا “Maka sungguh kalian tidak akan pernah bisa melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” (Makna hadits ini terambil dari hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya no. 2931) Dengan begitu, iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk iman terhadap yang gaib. Karena, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah gaib dari penglihatan dan pandanganmu. Namun Dia ada bersamamu, tidak gaib darimu dengan ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, maka Dia bersamamu. Inilah ma’iyyah khashshah atau ma’iyyah ma’nawiyah (kebersamaan secara maknawi), bukan hissiyah (inderawi). Adapun secara hissi (inderawi), Dia gaib dari dirimu. Karenanya, keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk iman pada hal yang gaib, yang membutuhkan tanda dan dalil yang menunjukkan atas wujudullah (keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala). (Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Aman Al-Jami rahimahullahu, hal. 45) Hikmah dari mencermati dan mengamati segenap ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, selain bisa memicu rasa ingin tahu anak, juga bisa diarahkan untuk menumbuhkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Membangun kesadaran bahwa di balik semua ciptaan ini, ada yang mengatur, menjaga, memelihara dan menghidupi, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Katakan pula kepada anak, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mencipta dan mengatur setiap orang berbeda-beda. Tunjukkan karunia dan nikmat yang telah dia rasakan. Ini sebagai upaya menumbuhsuburkan rasa syukur pada diri sang anak. Sikap syukur yang tertanam dalam diri anak diharapkan akan memupus sikap tamak, rakus. Memudahkan untuk menumbuhkan sikap mau berbagi, membantu dan menolong teman, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan sikap syukur ini pula diharap makin mendekatkan anak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memupuk jiwa tawadhu’ (rendah hati) dan tidak takabur. Perlihatkan pula kepada anak sederetan pedagang yang menjual barang dagangan yang sama. Masing-masing pedagang tidak saling berebut pembeli dan tidak saling mematikan pesaing antara pedagang yang satu dengan yang lain. Mereka bersaing secara sehat. Masing-masing mereka mendapatkan rizki sesuai kadar yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan untuk mereka. Subhanallah! Sebuah fenomena yang memperkaya batin anak, mengasah kepekaannya dan menumbuhkan keimanan dalam aspek tauhid rububiyah. Yaitu, tauhid yang menumbuhkan keyakinan bahwa sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Maha Pencipta, Maha Pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan dan mengatur alam semesta ini. Dengan keyakinan semacam ini, anak tak perlu lagi risau, hasad, iri atau benci bila melihat temannya mendapatkan sesuatu. Dia berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu telah ditentukan rizkinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, pupuslah segala macam hasad, iri, benci di dalam hatinya. Kemudian terpancarlah dari diri anak akhlak nan mulia. Semua ini didasari tauhid yang lurus, bersih dari segala noda kesyirikan. Ibarat pohon, akarnya menghunjam kokoh ke dasar bumi, cabangnya menjulang menggapai angkasa raya, daunnya rimbun lebat meneduhkan suasana, dan buahnya bermunculan di setiap musim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ. تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25) Demikianlah pohon keimanan. Pokok akarnya kokoh di dalam hati seorang mukmin, secara ilmu dan i’tiqad (keyakinan). Cabangnya berupa ucapan yang baik, amal shalih, akhlak yang disukai, adab (kesantunan) yang baik (yang mengarah) pada langit, yang senantiasa menapak ketinggian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari pohon itu mencuat amal-amal dan perkataan-perkataan yang membawa manfaat bagi seorang mukmin dan yang lainnya. Itulah syajaratul iman (pohon keimanan). Ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Karimirrahman (hal. 451). Karenanya, pendidikan tauhid ini harus benar-benar mendapat perhatian. Nabi Ya’qub ‘alaihissalam saat menjelang ajal menjemput masih tetap memerhatikan masalah tauhid terhadap anak-anaknya. Ini dilukiskan dalam Al-Qur`an: أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ ءَابَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Ilahmu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Ilah Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (Al-Baqarah: 133) Menumbuhkan semangat beribadah sejak dini Pendidikan anak lainnya yang ditekankan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membaguskan semangat anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anak dihasung untuk senantiasa melatih diri beribadah. Hingga pada masanya, anak tumbuh dewasa, dirinya telah memiliki kesadaran tinggi dalam menunaikan kewajiban ibadah. Di antara perintah yang mengharuskan anak dididik untuk menunaikan yang wajib, seperti hadits dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ “Suruhlah anak-anak kalian menunaikan shalat kala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila meninggalkan shalat) kala usia mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Sunan Abi Dawud no. 495. Asy-Syaikh Al-Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menyatakan hadits ini hasan shahih.) Yang dimaksud menyuruh anak-anak, meliputi anak laki-laki dan perempuan. Mereka hendaknya dididik bisa menegakkan shalat dengan memahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Jika hingga usia sepuluh tahun tak juga mau menegakkan shalat, maka pukullah dengan pukulan yang tidak keras dan tidak meninggalkan bekas, serta tidak diperkenankan memukul wajah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 2/114) Untuk mengarahkan anak tekun dalam beribadah memerlukan pola yang mendukung ke arah hal tersebut. Seperti, diperlukan keteladanan dari orangtua dan orang-orang di sekitar anak. Perilaku orangtua yang ‘berbicara’ itu lebih ampuh dari lisan yang berbicara. Anak akan melakukan proses imitasi (meniru) dari apa yang diperbuat orangtuanya. Syariat pun sangat tidak membuka peluang terhadap orang yang hanya bisa berbicara (menyuruh) namun dirinya tidak melakukan apa yang dikatakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3) Dengan demikian, keteladanan sangat mengedepankan aspek perilaku dalam bentuk tindakan nyata. Bukan sekadar berbicara tanpa aksi. Pendukung lainnya yang diperlukan agar anak tekun beribadah adalah mengondisikan lingkungan atau suasana ke arah hal itu. Manakala tiba waktu shalat, maka seluruh anggota keluarga menyiapkan diri untuk shalat. Tak ada satu orang pun yang masih santai dan tidak menghiraukan seruan untuk shalat. Kalau ada anggota keluarga yang tidak bisa memenuhi segera seruan tersebut atau berhalangan, maka hal itu harus dijelaskan kepada anak. Sehingga anak memahami sebagai hal yang dimaklumi secara syar’i. Pendukung lainnya, seperti pemberian hadiah manakala mau beribadah secara tekun, memberikan sanksi atau hukuman yang mendidik dan menimbulkan efek jera bagi anak yang malas beribadah, menghilangkan hal-hal yang jadi penyebab anak malas ibadah, dan lain-lain. Mengajarkan adab dan etika Pendidikan penting lainnya bagi anak yaitu membentuk kepribadian anak yang beradab. Tahu etika, sopan santun. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, al-adab yaitu akhlak yang menjadikan manusia santun (beretika) karenanya. Seperti, kemuliaan, keberanian, bagus kepribadian, lapang dada, raut wajah yang berseri-seri, dan lain-lain. Jadi, al-adab adalah sebuah ungkapan tentang akhlak yang (bila) seseorang menghiasi dirinya dengan akhlak tersebut akan menjadi terpuji karenanya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/979) Saat seseorang berbicara tentang adab, maka sesungguhnya dia berbicara masalah akhlak. Adab dan akhlak, satu hal yang tidak ada perbedaan padanya. (1) Akhlak terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala Adalah tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Mentauhidkan-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat. Seseorang yang berbuat syirik, senyatanya dia berbuat zalim yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13) (2) Akhlak seorang muslim terhadap Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam Adalah tidak lancang terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَ تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 1-2) Diungkapkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu bahwa ayat ini meliputi kandungan adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengagungkan, menghormati, dan memuliakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dengan perkara keimanan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu, menunaikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya. (Sehingga) menjadikannya berjalan di belakang perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh urusan mereka. Sikap mereka tidak mendahului Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak berkata sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata. Mereka tidak menyuruh sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan. Maka, sungguh inilah hakikat adab yang wajib terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan bentuk kebahagiaan seorang hamba dan keberuntungannya. (Sedangkan apabila) bersikap melancanginya, dirimu akan meninggalkan kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang langgeng. Dalam ayat ini pun terkandung larangan yang keras mendahulukan perkataan (pendapat) selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, sesungguhnya tatkala telah terang Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajib untuk mengikuti dan mendahulukannya atas selainnya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 889) (3) Akhlak seorang muslim terhadap sesama manusia Selain mendidik adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, anak mesti pula dididik untuk memiliki adab terhadap sesama manusia. Dalam hal ini yang utama sekali mendidik akhlak anak terhadap orangtuanya. Mendidik agar anak berbuat baik kepada kedua orangtuanya, tak semata dengan memberikan asupan ilmu. Lebih dari itu, hendaknya seorang anak diberi ruang yang bebas untuk membangun ikatan emosional dengan kedua orangtuanya, sekaligus sebagai media mempraktikkan ilmu yang didapatnya. Melalui interaksi dan komunikasi yang sehat, diharapkan ikatan itu terbentuk sehingga anak memiliki rasa kepedulian terhadap orangtuanya. Bisa saja seorang anak memiliki ilmu yang cukup dan paham tentang bagaimana harus birrul walidain (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Namun manakala ikatan emosional ini tidak dibangun dan dibentuk sejak dini, jalinan kedekatan dengan orangtua pun bisa mengalami hambatan. Anak akan merasa kesulitan mengamalkan ilmu dan pemahamannya. Kepekaannya menjadi tidak tajam. Kepeduliannya pun tumpul. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14) Orangtua atau pendidik yang baik, akan senantiasa memerhatikan masalah interaksi dan komunikasi antara orangtua dan anaknya. Mendidik bukan semata mentransfer ilmu kepada anak. Lebih dari itu, bagaimana anak tersebut mengamalkan ilmunya secara benar dan berkesinambungan. Kerja sama dan komunikasi yang baik antara orangtua, anak, dan pendidik, di suatu lembaga pendidikan mutlak diperlukan. Karena anaknya sudah di pesantren, lantas orangtua tidak mau peduli kepada anaknya. Tak pernah berkomunikasi dan berinteraksi dengan sang anak. Ini adalah sikap tidak tepat. Begitu pula lembaga pendidikan di mana sang anak menimba ilmu, bisa menjadi jembatan komunikasi antara orangtua dan anak. Ini semua sebagai upaya menyongsong pendidikan anak yang lebih baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Al-Ma`idah: 2) Hikmah yang bisa dipetik dari perintah mendidik anak untuk shalat sejak usia tujuh tahun yaitu adanya penanaman ilmu tentang shalat itu sendiri, adanya proses pelatihan dan pengondisian yang terus-menerus sehingga ritual shalat menjadi proses ibadah yang melekat kokoh pada anak. Begitu pula aspek pengamalan dalam masalah birrul walidain, selain penanaman ilmu, perlu proses melatih, mengondisikan, mendekatkan, dan mengikatkan suasana emosional anak dengan orangtuanya. Kepedulian, perhatian dan kasih sayang orangtua kepada anak merupakan nutrisi bagi ‘kesehatan’ jiwa anak. Sehingga diharapkan anak mengalami tumbuh kembang jiwa ke arah yang lebih baik. Lebih stabil secara emosional. Matang dalam bersikap dan dewasa dalam menghadapi masalah. Tidak reaksioner, meletup-letup dan kekanak-kanakan sehingga memperkeruh masalah yang ada. Nas`alullah as-salamah wal ‘afiyah. Wallahu a’lam. [Dinukil dari Majalah Asy Syari'ah Edisi No.43/IV/1429 H/2008, hal. 15-20] DIarsipkan di bawah: Ilmu dan Ulama, Potret Keluarga Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: Agustus 2010