Tetesan air mata yang keluar dari mataku karena takut kepada Allah lebih aku sukai daripada aku bersedekah seribu dinar ('Amr bin al 'Ash)

Selasa, 09 Maret 2010

Sifat-sifat Penghuni Neraka

Oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc Dalam surat Qaf, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan beberapa sifat penghuni neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَقَالَ قَرِينُهُ هَذَا مَا لَدَيَّ عَتِيدٌ. أَلْقِيَا فِي جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيدٍ. مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ مُرِيبٍ. الَّذِي جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ الشَّدِيدِ Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.” (Qaf: 23-26) Dalam ayat-ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa qarin yang menyertai manusia, yakni malaikat yang ditugasi untuk mencacat amal bani Adam, mengatakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Yakni orang tersebut dihadapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala oleh malaikat beserta catatan amalnya yang lengkap, tanpa ditambah dan dikurangi, serta siap untuk diberi balasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memerintahkan kepada kedua malaikat-Nya yaitu malaikat yang sebagai saksi dan malaikat yang menggiringnya ke hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.” Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut terdapat enam sifat orang yang bakal dilemparkan ke dalam Jahannam. 1. Orang yang sangat ingkar: yakni mereka yang sangat kafir, di mana berbagai macam kekafiran mereka lakukan baik berupa perbuatan maupun ucapan. Atau mereka yang kekafiran itu telah menguat dalam qalbunya. 2. Keras kepala: yakni membangkang terhadap kebenaran, menghadapinya dengan kebatilan sementara ia tahu kebenaran itu. Kalaupun kebenaran itu ditawarkan kepadanya, dia tidak mau menerimanya walaupun kebenaran itu begitu jelas. Akibatnya, ia akan banyak berbuat maksiat, berani menerjang larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. 3. Sangat menghalangi kebajikan: kebajikan di sini berarti segala macam kebajikan. Seolah-olah dia mencari-cari segala macam kebajikan untuk dia halangi sehingga dia menghalangi segala macam amal baik, dan yang terbesar adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya, serta menghalangi seseorang untuk berdakwah kepadanya. Ia juga tidak menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, tidak mau berbuat baik, bersilaturahmi, dan bershadaqah. Ia menghalangi dirinya sendiri untuk berjuang dengan harta dan badannya dalam perkara yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. 4. Melanggar batas: yakni melanggar batas-batas hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melanggar hak-hak makhluk, sehingga ia berbuat jahat kepada mereka. Yakni, bukan saja dia menghalangi seseorang untuk berbuat kebajikan, namun ia juga berbuat jahat kepadanya. Ini semacam perlakuan orang Quraisy terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka melarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat baik sekaligus mereka berbuat jahat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana ia juga melampaui batas dalam membelanjakan hartanya. Qatadah rahimahullahu menafsirkan: “Yakni melampaui batas dalam bicara, jalan dan segala urusannya.” 5. Lagi ragu-ragu: yakni tertanam dalam dirinya keraguan dan kebimbangan. Demikian juga, ia membuat keraguan pada diri orang lain, baik keraguan dalam hal janji Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun ancaman-Nya, sehingga tiada iman dan kebaikan dalam dirinya. 6. Yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah Subhanahu wa Ta’ala: mencakup semua orang yang menghambakan diri dan menghinakan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan: فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ الشَّدِيدِ “Maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.” Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنَ النَّارِ يَتَكَلَّمُ يَقُوْلُ: وُكِلْتُ الْيَوْمَ بِثَلَاثَةٍ؛ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ، وَمَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ، وَمَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ فَتَنْطَوِي عَلَيْهِمْ فَتَقْذِفُهُمْ فِيْ غَمَرَاتِ جَهَنَّمِ Sebuah leher keluar dari neraka, ia bisa berbicara. Ia pun mengatakan: “Pada hari ini aku dipasrahi (menyiksa) tiga golongan manusia: setiap orang yang sombong lagi membangkang, orang yang menjadikan sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama-Nya, dan setiap orang yang membunuh sebuah jiwa bukan karena qishash.” Sehingga leher tersebut melilit mereka dan melemparkan mereka ke dalam dahsyatnya azab jahannam. (HR. Ahmad) Sumber : http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_on Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: Maret 2010

Bernadzar tanpa Melafadzkannya

Wajibkah saya menunaikan kaffarah nadzar yang hanya terbersit dalam hati (nadzar tersebut tidak saya ucapkan dengan lisan) dan apakah pilihan kaffarah juga harus urut sedangkan saya belum bekerja? Abu Musa, Temanggung, Jawa Tengah Dijawab Oleh: Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad Al-Makassari Apa yang terbersit dalam qalbu (hati) tidak dianggap sebagai nadzar hingga dilafadzkan dengan lisan. Hal itu hanya sebatas niat untuk bernadzar dan tidak menjadi nadzar sampai benar-benar diucapkan dengan lisan. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Syarhu Bulughil Maram1: “Nadzar adalah mewajibkan sesuatu atas dirinya, sama saja baik dengan lafadz nadzar, ‘ahd (perjanjian), atau yang lainnya.” Dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/450-451)/Darul Atsar beliau berkata: “Nadzar menurut bahasa adalah mewajibkan, jika dikatakan: “Aku menadzarkan hal ini atas diriku” artinya “aku mewajibkannya atas diriku.” Adapun secara syariat, nadzar adalah mewajibkan sesuatu dengan sifat yang khusus, yaitu amalan seorang mukallaf mewajibkan atas dirinya sesuatu yang dimilikinya dan bukan sesuatu yang mustahil. Suatu nadzar dianggap sah (sebagai nadzar) dengan ucapan (melafadzkannya), dan tidak ada shighah (bentuk ucapan) tertentu untuk itu. Bahkan seluruh shighah yang menunjukkan makna “mewajibkan sesuatu atas dirinya” maka dikategorikan sebagai nadzar. Apakah dengan mengucapkan: لِلهِ عَلَيَّ عَهْدٌ “Wajib atas diri saya suatu janji karena Allah” atau mengucapkan: لِلهِ عَلَيَّ نَذْرٌ “Wajib atas diri saya suatu nadzar karena Allah,” Ataukah lafadz-lafadz serupa yang menunjukkan bahwa seseorang mewajibkan sesuatu atas dirinya, seperti: لِلهِ عَلَيَّ أَنْ أَفْعَلَ كَذَا “Wajib atas diri saya untuk melakukan demikian”, meskipun tidak menyebut kata janji atau nadzar. Berdasarkan keterangan ini, maka apa yang terbersit dalam qalbu anda tidak dianggap sebagai nadzar dan dengan sendirinya tidak ada pembicaraan tentang kaffarah nadzar. Wallahu a’lam. 1 Masih berupa rekaman. http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=794 Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: Maret 2010

Menduakan Cinta

Berikut ini catatan ringkas dari kajian Kitab At-Tauhid LKIBA Ma’had As-Salafy Jember yang disampaikan oleh Al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah pada hari Ahad, 15 dan 22 Shafar 1431 H / 31 Januari dan 7 Februari 2010 M. باب قول الله تعالى { وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ } [ البقرة : 165 ] Bab Tentang Firman Allah Ta’ala: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (Al-Baqarah: 165) Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah menjadikan ayat ini sebagai judul bab, dan mungkin yang dimaksudkan dari judul tersebut adalah Bab Mahabbah. Asal dari semua amalan itu besumber dari mahabbah (kecintaan), manusia tidaklah berbuat (beramal) kecuali karena ada sesuatu yang dia cintai dan diinginkan. Bisa jadi sesuatu yang dia senangi itu berupa berhasilnya untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat, atau bisa jadi pula tertolak dan terlepaskannya dia dari mudharat. Apabila seseorang beramal dengan suatu amalan tertentu, maka ini disebabkan karena dia menyukai (mencintainya)nya. Bisa jadi dia menyukai dzat (jenis) amalan tersebut, dan bisa pula karena lainnya. Misalnya seseorang yang makan buah-buahan, dia makan karena senang dengan dzat (jenis buah)nya itu sendiri. Ada pula orang yang melakukan perbuatan (amalan) tertentu bukan karena senang dengan dzatnya, tetapi karena ada sesuatu lain yang dia senangi. Misalnya obat, obat itu pahit (dan tentunya merupakan sesuatu yang tidak disukai), akan tetapi seseorang memakan obat itu bukan karena dia senang dengan dzat (obat)nya, akan tetapi dia melakukan itu karena ada sesuatu lain yang dia senangi, yaitu kesembuhan. Ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala itu harus dibangun di atas mahabbah kepada-Nya, bahkan mahabbah ini merupakan hakekat ibadah. Jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah ‘azza wajalla tanpa adanya mahabbah, maka ibadahnya tersebut seperti kulit saja yang tidak ada ruh padanya. Kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala itu mengandung konsekuensi harus melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ruh ibadah itu adalah mahabatullah, dan mahabatullah ini merupakan hakekat dari ibadah itu sendiri. Jika manusia memiliki kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala dan memiliki kecintaan untuk sampai kepada jannah-Nya, pasti dia akan menempuh jalan yang bisa menyampaikan kepada itu semuanya. Itulah kecintaan yang jujur pada dada manusia. Jika tidak ada kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala, maka mustahil dia akan sampai kepada jannah Allah subhanahu wata’ala. Mahabbah itu terbagi menjadi dua: 1. Mahabbah ibadah, yaitu kecintaan yang mengandung konsekuensi perendahan diri dan pengagungan terhadap Dzat yang dicintainya. Mahabbah ibadah yang ada di dada manusia ini mengandung konsekuensi untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Mahabbah ini disebut juga oleh para ulama dengan Mahhabah Khashshah. Dan mahabbah seperti ini tidak boleh ditujukan kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Sehingga barangsiapa yang menujukan mahabbah ini kepada selain Allah subhanahu wata’ala (yakni mencintai selain-Nya dan menyekutukan Allah dalam ibadah ini), maka dia telah menjadi musyrik dan terjatuh ke dalam syirik akbar. 2. Mahabbah yang bukan termasuk ibadah secara dzatnya. Dan ini banyak macamnya seperti: a. Mahabbah Lilllahi wa Fillah. Yakni yang menjadikan kecintaan terhadap sesuatu adalah kecintaan dia kepada Allah. Seperti kecintaan kepada para nabi dan kepada orang shalih karena cintanya kepada Allah. b. Mahabbah Isyfaq Wa Rahmah. Yakni mahabbah yang timbul dari sikap kasih sayang, seperti mencintai anak. c. Mahabbah Ijlal Wa Ta’zhim. Yakni kecintaan dan pemuliaan yang bukan dalam bentuk ibadah. Seperti kecintaan seseorang terhadap orang tua, kecintaan terhadap orang yang berilmu. d. Mahabbah Thabi’iyyah. Yaitu kecintaan yang timbul dari tabi’at dan sifat dasar manusia, seperti senang pada makanan, minuman, tempat tinggal, dan pakaian. Yang paling baik dan paling mulia dari keempat macam mahabbah ini adalah jenis yang pertama, adapun ketiga jenis yang lain hukumnya mubah, tetapi kalau diniatkan ibadah[1], maka bernilai ibadah, dan kalau diniatkan maksiat maka bernilai maksiat. Ayat pertama yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab dalam bab ini adalah: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ. “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165) Penjelasan beberapa kalimat وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا yaitu sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan yang mereka menyetarakannya dengan Allah. يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ yaitu mereka mencintai tandingan selain Allah tersebut seperti mencintai Allah, yakni mereka menyamakan kecintaan kepada selain Allah dengan kecintaan kepada Allah, bahkan mereka menyamakan antara kecintaan kepada selain Allah dengan penuh rasa ta’zhim dan tadzallul (pengagungan dan perendahan diri) وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ yaitu orang-orang mukmin lebih cinta kepada Allah dibandingkan kecintaan kaum musyrikin kepada Allah karena cintanya orang mukmin murni kepada Allah, sedangkan orang musyrikin kecintaannya terbagi-bagi, cinta kepada Allah, dan juga cinta kepada tandingan selain Allah. Dan ketahuilah bahwa kecintaan orang mukmin kepada Allah itu lebih besar daripada kecintaan musyrikin kepada-Nya. Faedah yang bisa diambil dari ayat ini: 1. Orang yang menjadikan tandingan bagi Allah, yang kecintaan kepadanya sama dengan kecintaan kepada Allah, maka dia telah terjatuh ke dalam perbuatan syirik akbar yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Dan mahabbah seperti ini adalah mahabbah ibadah yang tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. 2. Bahwasanya kesyirikan itu akan membatalkan amalan, dan faedah ini diambil dari kelanjutan ayat tersebut[2]. 3. Bahwasanya di antara kaum musyrikin ada yang sangat mencintai Allah. Akan tetapi kecintaan tersebut tidak memberikan manfaat kepadanya karena masih adanya unsur kesyirikan padanya, kecuali kalau dia mengikhlaskan kecintaannya hanya kepada Allah. 4. Ikhlasnya kecintaan kepada Allah adalah termasuk tanda-tanda keimanan. Dan orang-orang yang beriman itu benar-benar cinta dan mengikhlaskan kecintaannya hanya kepada Allah. [1] Seperti makan dengan maksud untuk membantu menguatkan ibadahnya kepada Allah, dan yang semisalnya. [2] Yaitu rangkaian ayat yang akhir lafazhnya: كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ. “Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (Al-Baqarah: 168) Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: Maret 2010

Sabtu, 06 Maret 2010

Kunci-Kunci Surga

Oleh: Al Ustadz Agus Su’aidi)* Ibarat sebuah pintu, surga membutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa. Tetapi Anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda: “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga.“ (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shahih). Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illallah, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, tetapi mereka masih meminta-minta (berdoa dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga? Tentu tidak mungkin! Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illallah itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi. Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al Imam Wahab bin Munabbih (seorang tabi’in terpercaya dari Shan’a yang hidup pada tahun 34-110 H), “Bukankah Laa ilaaha illallah itu kunci surga?” Wahab menjawab: “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan dibukakan untukmu!” Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illallah itu? Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illallah itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illallah. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qashim Al Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illallah itu ada delapan, yaitu: Pertama: Al ‘Ilmu (mengetahui) Maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illallah secara benar. Adapun artinya adalah: “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Muslim). Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi Anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya. Kedua: Al Yaqin (Meyakini) Maksudnya adalah Anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illallah tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.” (HR. Muslim). Ketiga: Al Qobul (Menerima) Maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illallah dengan senang hati, baik secara lisan maupun perbuatan, tanpa menolak sedikit pun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang digambarkan oleh Allah dalam Al Qur’an: إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ * وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ “Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka: (ucapkanlah) Laa ilaaha illallah, mereka menyombongkan diri seraya berkata: Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini?” (Ash Shaffat: 35-36). Keempat: Al Inqiyad (Tunduk Patuh) Maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illallah dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ “Kembalilah ke jalan Tuhanmu, dan tunduklah kepada-Nya.“ (Az-Zumar: 54). Allah Ta’ala juga berfirman: وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى “Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” (Luqman: 22). Kelima: Ash Shidq (Jujur atau Benar) Maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illallah, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa disertai kebohongan sedikit pun. Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Keenam: Al Ikhlas (Ikhlas) Maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Ketujuh: Al Mahabbah (Cinta) Maksudnya Anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ “Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang dicintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah di atas segala-galanya).” (Al-Baqarah: 165). Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahlus syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illallah.(ed,). Kedelapan: Al Kufru bimaa Siwaahu (Mengingkari Sesembahan yang Lain) Maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan: فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا “Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah), yang tidak akan putus….” (Al-Baqarah: 256). Saudaraku kaum muslimin, dari sini dapatlah kita ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah! Wallahu a’lamu bish shawwab. )* Penulis -hafizhahullah- adalah Pimpinan Pondok Pesantren Al Bayyinah Sidayu Gresik http://blog.wira.web.id/2010/02/10/kunci-surga Baca selengkapnya Agama adalah Nasihat: Maret 2010